Rektor UNJ Dr. Komarudin Sahid: Dikdasmen dengan Dikti lebih baik disatukan dalam satu rumah

Merujukkan Dikdasmen dengan Dikti berarti menyatukan keduanya menjadi satu sistem Pendidikan Nasional.

Abdullah Taruna

Wacana penyatuan Ditjen Dikdasmen dengan Dikti tersebut disampaikan oleh Dr. Komarudin Sahid, M.Si., dalam diskusi Hari Pendidikan Nasional yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) beberapa bulan lalu. Bertindak sebagai moderator dalam diskusi yang menghadirkan para dosen dan alumni UNJ itu adalah Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro, Ph.D.  

Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab mendidik para calon guru.  Sebagai bagian dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), UNJ merupakan salah satu dari 12 eks IKIP Negeri yang mengubah diri menjadi universitas. Selain keduabelas universitas negeri itu, di Indonesia beberapa perguruan tinggi yang termasuk LPTK adalah Universitas Terbuka, 34 FKIP Negeri, dan 377 LPTK swasta.

Kesemua LPTK itu sejak masa Kabinet Kerja Presiden R.I., Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden R.I., H. Mohammad Jusuf Kalla berada di bawah Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Menurut Rektor Universitas Negeri Jakarta, Dr. Komarudin Sahid, M.Si, struktur LPTK yang berada di bawah birokrasi Kemenristekdikti memiliki kekuatan di satu sisi, dan kelemahan di sisi lainnya.   

Berdasarkan pandangannya itu, Komarudin Sahid kemudian mengajukan pertanyaan kenapa Kemdikbud R.I., dan Kemristekdikti R.I.? “Maksudnya kenapa Ditjen Dikdasmen dan Dikti itu dipisah? Padahal di Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kelembagaan pendidikan itu diatur secara jelas sebagai  satu sistem pendidikan nasional, dulu satu sistem pengajaran,” kata Komarudin Sahid.

Pasal 31, ayat 3 hasil Amandemen Keempat UUD 1945 mengatur tentang kelembagaan pendidikan sebagai satu sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: 

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.

Analisis kritis itu dilakukan Komarudin setelah mendiskusikan masalah kelembagaan LPTK dengan para akademisi senior, salah satunya dengan Ekonom Sri Edi Swasono.

Dr. Komarudin Sahid, M.Si., Rektor Universitas Negeri Jakarta periode 2019-2023.

Berdasarkan latar belakang masalahnya, kenapa Ditjen Dikdasmen dengan Ditjen Dikti dipisah? Terkait alasannya, menurut Komarudin salah satunya bertujuan  mengembangkan riset perguruan tinggi secara maksimal.

“Salah satu pertimbangannya karena  di Perguruan Tinggi ada Tri Dharma Perguruan Tinggi,yang salah satunya ada riset-riset, supaya risetnya berkembang maka disatukan dengan ristek. Salah satunya di situ,” ungkap Komarudin Sahid tentang sisi positif Ditjen Dikti digabungkan ke Kemenristekdikti.

Sedangkan dari sisi kelemahan, kebanyakan lulusan LPTK itu menghasilkan guru yang mengajar dari mulai Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah Dasar, SMP hingga SMA/SMK.

“Repotnya lagi kalau kita bicara di LPTK, itu kan di Ristek Dikti, tapi lulusannya itu untuk di Dikdasmen. Kalau kebijakannya itu untuk dua kelembagaan berbeda itu ada kerepotan,” kata Komarudin Sahid yang pernah menjadi guru SMEA di Jakarta pada tahun 1988-1989.

Ia pun merasa perlu mewacanakan ide untuk mensinkronkan Ditjen Dikdasmen dengan Ditjen Dikti. “Dikdasmen dengan Dikti lebih baik disatukan di satu rumah (Kemdikbud R.I.), sehingga linieritas kebijakannya itu dalam satu  payung, satu sistem lembaga,” ungkap Komarudin Sahid.

Jika ide pengintegrasian Ditjen Dikti dengan Ditjen Dikdasmen dalam Kemdikbud bergulir menjadi satu keputusan kira-kira bagaimana nasib program riset perguruan tinggi? Mendapatkan pertanyaan ini, Rektor UNJ Periode 2019-2023 ini menjawab bila riset tetap disatukan dengan Kemristekdikti.

“Jika kelembagaan pendidikan itu disatukan kembali, yang risetnya tetap menyatu dengan ristek. Jadi lebih baik rujuk saja Dikdasmen dengan Dikti itu,” jelas Komarudin Sahid.

Alasan lain yang menjadi pertimbangan pentingnya merujukkan Ditjen Dikdasmen dengan Dikti adalah penghematan biaya.

“Kalau gampangnya dari TK  SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi itu menghasilkan ijazah kok, kenapa harus dipisah? Implikasinya kepada pembiayaan dan aset. Kemarin ketika awal-awal 2014-2015, kerepotan sekali pengelolaan asetnya ketika dipisah, jadi harus jelas pemisahannya. Luar biasa, cut off-nya itu selama 2-3 tahun, itu belum selesai, kemudian masalah pembiayaan ada repotnya,” terang Komarudin Sahid.

News letter