Rahmawati, M.Pd.: Prestasi Itu Dihasilkan Karena Kita Senang.

#GuruBerprestasiNasional

Seorang guru yang tidak memiliki kebanggaan dalam menjalani profesinya berpotensi menimbulkan trauma kepada para siswi-siswanya.

Abdullah Taruna,

Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada Peringatan Hari Guru Nasional, 25 November lalu telah menebarkan harapan baik bagi para guru maupun orang tua murid. Pidato itu disebut-disebut mewakili persoalan yang kini sedang dihadapi para guru. Mas Menteri, begitu para akademisi biasa memanggil nama Nadiem, penuh sikap empati mengungkapkan pandangannya, bahwa para guru sudah berupaya mengatasi persoalan-persoalan para murid, dan mengembangkan potensi yang dimiliki para siswi-siswanya. Persoalannya, langkah itu, tambah Nadiem terkendala tanggung jawab administrasi pembelajaran yang sangat menyita waktu dan energi para guru. Beban itupun masih ditambah dengan padatnya kurikulum.

Empati Nadiem pun berlanjut. Mas Nadiem mengatakan, ” Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka-angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan, “. Lantas dalam pidato berjudul “Guru Penggerak Indonesia Maju”, dan bertagar #MerdekaBelajar itu menawarakan 4 langkah kepada para guru, dan satu ajakan kepada para peserta didik.

Kelima langkah tersebut yaitu:1. Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar, 2. Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas, 3. Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas, 4. Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri, 5. Tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan.

Metode Cara Belajar  Siswa Aktif_CBSA (Student Aktive Learning) sebenarnya bukan hal baru,  bahkan sudah pernah diimplementasikan pada kurikulum 1984. Dan persoalannya tidak melulu soal metode, namun bagaimana para guru memiliki kemampuan untuk menjadi fasilitator model pembelajaran SAL itu. Setidaknya belajar dari penerapan Kurikulum 1984 yang mengalami kegagalan lantaran mayoritas guru yang ada tidak mampu mengimplementasikan itu.

Termasuk Kurikulum 2013 (Kurtilas), jikapun dianggap padat dan menghambat gerak para guru, termasuk administrasi pembelajaran yang menghabiskan waktu dan energi para guru, adakah  ketiga persoalan tersebut sudah coba dipecahkan solusinya oleh para guru secara terorganisasi?

Rahmawati, M.Pd., seorang guru Kabupaten Bekasi, dan Konsultan Pendidikan yang berkali-kali meraih juara pertama nasional inovasi pembelajaran berbagi pengalaman dalam Forum Diskusi Pedagogik (FDP) Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (Rabu, 20 November 2019), tentang bagaimana ia menghadapi semua tantangan yang diakuinya memang menjadi persolan para guru, termasuk dirinya.  

“Saya juga mengajar lingkungan karena berkaitan dengan jam mata pelajaran sejarah yang kurang, apalagi sekarang sangat menyedihkan kelas XI, kelas XII dihapus. Kami hanya mengajar sejarah kelas X. Jadi  sisa jamnya ke mana? Jadi kami harus bisa mengajar  kewirausahaan, mengajar seni budaya, mengajar lingkungan, jadi kami menjadi guru serba bisa gara – gara  keputusan kebijakan kurikulum tersebut, “ kata Guru berprestasi mata pelajaran Sejarah Indonesia, Rahmawati.

Rahmawati juga aktif dalam banyak organisasi. Ia menjadi Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP) SMK di  Kabupaten Bekasi, juga menjadi pengurus MGMP di Jawa Barat, anggota Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AKSI),  dan Pengurus Pusat Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Bekasi. 

Seraya menunjukkan slide makalah power point kepada para peserta diskusi Reboan Pendidikan, Rahmawati mengucapkan kata syukur telah mendapat kesempatan untuk belajar dan berprestasi. 

“Pertama saya juara I untuk guru se-Jawa Barat, guru berprestasi. Lalu di Kabupaten juga juara I. Lalu untuk karakter Inobel  (inovasi pembelajaran: Red.) saya juga juara I untuk tingkat nasional,” kata Rahmawati memaparkan pengalamannya sebagai guru hingga berprestasi.

Sejalan dengan langkah-langkahnya untuk terus mengukir prestasi, Rahmawati pun merasa perlu mendirikan Rumah Pintar. Ini dilakukannya karena menyadari dalam dunia guru secara nasional, ia akan stagnan bila hanya mengajar saja sebagai guru di sekolah.

Rahmawati, Guru Berprestasi Nasional, yang menjadi narasumber dalam perhelatan internasional di bidang inovasi pembelajaran.

“Kalau kita hanya sekedar guru, kita akan jalan di tempat, kita kembangkan rumah pintar, kami bawa ke Kupang, juara I nasional, kemarin kami kembangkan rumah pintar yang ada di Desa Sukatani, Kabupaten Bekasi, kita bawa ke Padang juara harapan I. Kami di tetangga ada Paud, kami kembangkan Paud, dan juara I nasional. Dari sini sebenarnya bukan juaranya yang kita ambil, tapi kita belajar dengan pengalaman guru lain, belajar dengan wawasan guru lain. Dari situ kita bawa pengalaman belajar itu untuk kita kembangkan di  sekolah yang kita miliki, atau kita kembangkan di organisasi dan  kita wadahi di MGMP atau di AKSI_asosiasi guru sejarah Indonesia,” ungkap Rahmawati tentang orientasinya mendulang prestasi terus – menerus.

Rahmawati menjawab kenapa ada mahasiswa-mahasiswa yang menyebarkan memori buruknya tentang guru di sosial media. “Kita harus pahamkan satu visi dulu, bahwa menjadi guru adalah sesuatu yang menyenangkan. Kalau tadi dikatakan oleh moderator, anak trauma, anak takut, mungkin karena gurunya tidak menyenangkan, Kalau gurunya menyenangkan  anak tidak akan trauma. Nah berarti kembali ke diri kita. Ini untuk adik-adik yang calon guru, kalau awal niatnya tidak ingin menjadi guru, nanti kalau menjadi guru anak-anak muridnya akan trauma,” jelas Rahmawati yang menggelitik para dosen dan mahasiswa yang hadir hingga mereka tertawa tanda membenarkan pernyataan Rahmawati.

Menurut Rahmawati, bila ada calon guru hingga menjadi guru masih berpandangan profesi yang digelutinya tidak menyenangkan, maka bisa berdampak negatif saat mengajar para anak muridnya.  

“Karena pelampiasannya ke anak. Jadi sebetulnya cermin anak ada di kita. Kenapa anak seperti itu, karena kita seperti itu.  Jadi sekarang harus diubah, kalau ingin jadi guru, jadikan itu suatu pekerjaan yang menyenangkan, jadikan hobi, jangan jadi sesuatu yang dipaksa. Karena sesuatu yang dipaksa tidak akan menghasilkan ide yang lebih baik, tidak akan berprestasi. Prestasi itu dihasilkan dari sesuatu yang kita lakukan karena kita senang,” ungkap Rahmawati yang damini para peserta diskusi.

Apa yang disampaikan Rahmawati bukan berdasarkan asumsi melainkan dari hasil penelitian.

“Kami kerja sama dengan sekolah ramah anak untuk menjawab kenapa anak itu punya traumatik dengan guru. Ternyata ada kaitan dengan sistem  manajemen sekolah bersangkutan. Jadi kalau anak itu ada kesan bahagia, berarti ada sesuatu yang membahagiakan di sekolah. Tetapi kalau ada siswa lulus, tapi punya kesan traumatik, berarti ada masalah di sekolah,” ungkap Rahmawati.

Guru Bukan Hanya Mengajar

Agar relasi belajar mengajar antara guru dengan murid tetap bisa dipertahankan secara membahagiakan oleh para murid, maka menurut Rahmawati guru harus menyadari bahwa tugas guru bukan hanya mengajar.

“Saya setuju dengan pendapat Prof. Dr. Sutjipto, bahwa guru tidak hanya mentransfer ilmu sehingga anak merasa beban banget. Terus terang di SMK beban pelajaran sejarah dari manusia purba sampai era reformasi itu sampai satu tahun pak. Satu tahun bagaimana kita membagi pola-pola karena semua harus diberikan. Karena apa ? tujuan lulusan SMK bukan jadi sejarawan, tetapi seorang yang bisa bekerja dengan baik. Itu yang saya sedih. Padahal kita berharap tidak hanya materi yang bisa dibawa, tetapi juga sikap kecintaan terhadap tanah air, kejujuran, bagaimana dia memikirkan masyarakat dan punya tanggungjawab memikirkan kebangsaan.  Itu tidak bisa dengan materi seabreg tiga tahun menjadi  1 tahun,” ungkap Rahmawati dengan intonasi tinggi. 

Untuk mengatasi persoalan beban materi yang begitu padat, dan agar nilai-nilai kejujuran, nasionalisme dan tanggungjawab sosial tetap bisa diajarkan, maka Rahmawati memecahkannya melalui MGMP.

“Makanya kami di MGMP, membuat satu metode media pembelajaran yang diberikan secara bersamaan untuk yang di SMK Kabupaten Bekasi, dan untuk tanggung jawab administrasi Pak, itu kami buat bersama-sama. Jadi kami tidak terbebani dengan administrasi, karena kami share, semua guru punya administrasi yang sama, sampai tes pun kami bersama-sama. Sehingga semua guru punya standar yang sama,” terang Rahmawati.

Rahmawati melanjutkan, persoalan administrasi yang sangat menyita waktu dan energi sebenarnya bisa diatasi dengan upaya bersama MGMP. 

“Sekarang tinggal gurunya mau tidak mengembangkan dirinya tidak terbebani administrasi. Kalau sudah tidak terbebani administrasi, maka kita punya satu visi bahwa anak-anak kita harus mencintai tanah air, anak-anak harus jujur, anak-anak kita harus memikirkan masyarakat, dan masa depan kebangsaan. Bagaimana caranya? Itu kembali dulu ke diri kita sebagai guru. Kalau gurunya ingin memberikan empat poin ini, maka gurunya harus seperti ini dulu. Nggak bisa gurunya senang kebarat-baratan, tapi dia punya visi cinta tanah air, ya susah! gurunya nggak jujur, tapi dia ingin anak-anak muridnya jujur, ya susah! ” kata Rahmawati dengan nada lirih dan selama presentasi selalu tersenyum kepada hadirin.

Rahmawati pun kembali menatap para mahasiswa peserta  diskusi. “Jadi untuk adik-adik ke depannya senangi dulu profesi  guru,  in sya Allah akan tumbuh sikap seperti ini. Karena guru itu  sangat menyenangkan, berhadapan dengan hati-hati nurani mereka -manusia yang tidak seperti barang, sehingga bisa  membuat kita awet muda. Sehingga Bu Budi awet muda, karena murid-muridnya seperti ini,”  ujar Rahmawati seraya berkelakar kepada Budiarti Chudlori, dosen yang menjadi gurunya selama kuliah.

Selain menghadirkan Guru Honorer Berprestasi Nasional, Reboan Pendidikan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ juga menghadirkan Dr. Jejen Musfah (Kaprodi Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah/Wasekjen PGRI), dan Sekjen FSGI, Heru Purnonomo, S.Pd.  Kegiatan yang dihadiri oleh Koordinator Tim Ahli Pedagogik Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ, Jimmy Philip Paat, dan Bendahara IKA UNJ Dr. Indra Fahrizal  tersebut dibuka dengan sambutan Dra. Budiarti, M.Pd., selaku perwakilan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta. (Bersambung).

News letter