Rahmawati, M.Pd.: Kita Sebagai Guru Harus Sama-sama Belajar Dengan Murid.

#GuruHonorerBerprestasiNasional

Karena sekolah memberikan tempat bagi guru bertemu, dan berinteraksi dengan siswi-siswa, maka budaya belajar lebih gampang terbentuk. Tak ada alasan bagi guru untuk malu belajar bersama peserta didiknya.

 Abdullah Taruna,

Dari kelima seruan Mas Menteri, semua sudah dijalankan oleh Rahmawati, seorang guru honorer yang berhasil membukukan prestasi nasional. Seruan nomor 1, “mengajak kelas berdiskusi bukan hanya mendengar” sudah dijadikan budaya proses belajar mengajar oleh Rahmawati  sejak 2010 di SMK Al-Muslim Bekasi. Metode Cara Belajar  Siswa Aktif_CBSA (Student Aktive Learning) bagi para guru sejatinya bukan metode asing, termasuk lulusan LPTK seperti Rahmawati. Model pembelajaran tersebut sudah pernah diimplementasikan pada kurikulum 1984, yang  dikenal sangat humanis.  Meski  Kurikulum 1984 gagal lantaran tidak semua guru memiliki kapasitas untuk menerapkannya, namun Rahmawati terus mengembangkan inovasi pembelajaran (Inobel) yang mengondisikan dirinya selaku guru sama-sama belajar dengan para siswi-siswanya.  

“Murid lebih senang guru menjadi kawan dalam belajar dibanding hubungan atasan dengan bawahan,” kata Rahmawati. Dari belajar bersama yang dipadu dengan grounded research itu, Rahmawati kemudian memforumulasikan temuannya ke dalam inovasi belajar dan dilombakan. Berturut-turut selama 2 tahun: 2013-2014, Rahmawati meraih juara I nasional lomba hemat energi (LHE) untuk Sekolah dari Kementerian ESDM dalam kategori Manajer Sekolah Hemat Energi.  Pada tahun 2014 pula ia meraih juara I nasional dari Kementerian ESDM untuk kategori  The Best Mother School. 

Prestasi nasional juara I kembali didulang oleh Rahmawati, saat dirinya membawa hasil riset lapangan, dan belajar bersamanya di SMK 1 Cikarang Barat dalam lomba Inovasi Pembelajaran Karakter Bangsa SMK Tingkat Nasional yang diselenggarakan Kemendikbud R.I., pada 2017.  Saat mengajar di SMK 1 Cikarang Barat pada 2015-2018, status Rahmawati adalah guru honorer. Sejak 2015 hingga kini, Rahmawati menjadi guru honorer di SMK Talenta Bangsa, dan ia pun mengajar sebagai guru Sejarah Indonesia  di SMA Negeri 7 Tambun Selatan sejak dua tahun lalu.

Rahmawati, M.Pd., saat presentasi di Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ. Ia selalu tersenyum dalam memaparkan pengetahuannya.

Bahkan alumni Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Jakarta Angkatan 1991 telah berkali-kali menjadi narasumber  tingkat  nasional dan internasional: Tahun 2013 menjadi narasumber Seminar Nasional di UNESA, Tahun 2014 menjadi pembicara Seminar Nasional di Pascasarjana UNJ, Tahun 2015 di Kemendikbud R.I., Tahun 2016 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Tahun 2018 pembicara Seminar Internasional Guru Pendidikan Sejarah Malaysia dengan Indonesia.  

Teknik Mengajar

Dari segudang prestasi yang diraih Rahmawati, ia pun mengajak para mahasiswa calon guru agar menjadi guru hebat.  Pertanyaannya bagaimana merintis prestasi menjadi guru berprestasi itu?

“Bagaimana teknik mengajarnya? Nah teknik ini saya berikan, bahwa kita ini punya profesi lho. Saya bangga dengan profesi sebagai guru, kalau tidak ada kebanggaan itu kita lelah, bahkan kita merasa pekerjaan ini membuat kita menderita. Jadi tanpa perasaan bahagia sebagai guru, maka kita tidak bisa menjalankan profesi sebagai guru yang bermutu,” ungkap Rahmawati.

Syarat menjadi guru yang bisa diterima, dan tidak dimusuhi oleh para murid, lanjut Rahmawati, yaitu dengan tidak berkata dan bersikap yang menimbulkan perasaan trauma kepada para siswi-siswa.

“Kita harus mengubah, apa yang kita ubah? Kepribadian kita, sikap profesional kita, sosial kita, dan pedagogik. Kenapa kepribadian buruk itu harus diubah?  Karena mereka manusia, anak-anak itu melihat. Mereka lebih senang melihat contoh, daripada mendengarkan.  “Kamu harus A, B, C, D, nggak bakal didengar. Apalagi untuk SMA/SMK.  Tapi kalau kita memberi contoh tidak datang telat, maka mereka tidak akan datang telat. Kebetulan saya mengajar di sebuah  SMK yang terkenal dengan tawuran. Kita bisa ubah dengan sikap kita yang kita contohkan. Kita tidak bisa menyuruh anak, kalau kita tidak seperti itu,” terang Rahmawati.

Saat di SMK Cikarang Barat itu, Rahmawati bertemu dengan anak-anak yang ketahuan habis tawuran. “Jadi kalau saya mengajar, kemudian ada yang kepalanya plontos, itu ketahuan dia habis tawuran. Tapi kepada anak itu saya bilang, “kamu pasti akan jadi ABRI”. Kalau saya bilang kamu habis tawuran, maka dia akan membenci saya seumur hidup. Tapi kalau kita bilang “Oh hebat, ada ABRI baru  di situ”. Kok ABRI Bu, aku kan habis tawuran. Oh nggak, Ibu yakin kamu pasti jadi ABRI. Jadi kalau kita lihat secara positif kepada anak, maka anak akan melihat positifnya guru,” jelas Rahmawati. 

Hasil cepatnya dari sikap positif guru itu pun langsung didengar dari anak berkepala plontos itu usai pembelajaran di kelas.  “Ibu baru kali ini saya dibilang ABRI, padahal guru-guru yang lain bilang, kalau lihat rambut plontos berarti saya habis tawuran, saya anak bandel,” ucap murid berkepala plontos seperti dikisahkan Rahmawati. 

Sikap positif kepada murid bandel diberikan oleh Rahmawati, karena sebagai guru dirinya memiliki perspektif positif. “Kita kembali ke kacamata, bahwa dia pasti bisa berubah, jadi itu motivasi. Jadi ini saya bawa ke lomba karakter bagaimana anak-anak yang badung-badung saya kumpulkan ke dalam  club “Go Green School”. Mereka punya tugas memantau listrik secara bergiliran, mereka bangga karena kita kasih rompi ,” kata Rahmawati yang mengusahkan pengadaan  rompi dari produsen garmen yang butuh promo, jadi tidak membebani para siswa-siswi dan sekolah. 

Menurut Rahmawati, anak-anak muridnya yang tergabung dalam club “Go Green School” itu memiliki tugas rutin memantau penggunaan listrik di setiap kelas, mematikan AC, dan lampu yang menyala di ruang kelas yang kosong kegiatan, dan membuat rekapan, lalu melaporkan hasil rekapan itu kepada Rahmawati selaku guru bidang studi sejarah.

“Kenapa ini dilakukan, sebagai guru sejarah kan nggak nyambung ya. Bagi saya ini aplikasi pembelajaran sejarah, bagaimana anak menjadi pahlawan hemat energi. Jadi saya bilang ini pahlawan lho. Karena mereka melakukan setiap hari. Sehingga biaya subsidi listrik sekolah dalam setiap bulan dari 40 juta turun menjadi 34 juta rupiah. Artinya sudah menghemat 6 juta rupiah per bulan, kalau setahun sudah 72 juta rupiah. Kalau seluruh Indonesia sudah berapa triliun itu subsidi listrik bisa dihemat? ini bisa dialihkan ke bidang kesehatan. Ini logika saya ketika saya bicara di lomba bidang Inobel (Inovasi Pembelajaran: Red.),” papar Rahmawati, Guru SMK 1 Cikarang Barat 2015-2018.  

Bahkan Inobelnya terkait Hemat Energi itu dinilai bermanfaat untuk kampanye hemat energi nasional, Kementerian ESDM, kata Rahmawati, kemudian mendapuknya, dan menjadikannya program di sekolah-sekolah, namanya Program Sekolah Hemat Energi.

“Padahal ini cuman iseng, cuman ngecek  3 M, matikan lampu saat kelas kosong, matikan listrik dan matikan AC saat sudah tidak ada kegiatan. Matikan AC, Kadang-kadang waktu di perkuliahan kan begitu, saat kelas kosong, lampu masih menyala, AC masih menyala. Kadang-kadang AC menyala tidak ada mahasiswanya itu sangat merugi listriknya, sampai charger masih nempel, tidak ada alatnya, itu listriknya masih berproses.

Bagai anak-anak, mereka senang menjalankan tugas rutin seperti itu, karena mereka untuk yang cowok bilang “Aku jadi bisa menembak cewek (kenal lebih dekat).  Mereka juga akan membiasakan untuk hemat energi dalam hidup mereka,” terang Rahmawati.

Pahlawan Milenial

Intinya pengalaman ini, lanjut Rahmawati, dapat memberikan pembelajaran tentang pentingnya perilaku hemat energi. “Artinya,  saat guru berhadapan dengan generasi milenial, maka guru bisa memberikan ilmu pengetahuan sejarah tentang pahlawan dari zaman pra sejarah sampai reformasi. Tapi dalam kontek  kekinian tidak kemudian mengulang masa lalu dengan mengatakan, “pahlawannya ini lho!. Bukan begitu, tapi jadikanlah mereka (anak-anak) pahlawan, pahlawan zaman now, pahlawan hemat energi. Karena mereka sudah memberikan kontribusi kepada negara dengan kegiatan menghemat energi listrik di sekolah dalam setiap hari. Jadi ini satu proyek, bangganya luar baiasa. Yang semula mereka dianggap sebagai orang yang suka tawuran, mereka kemudian berubah dan menjadi Pahlawan Hemat Energi, Pahlawan Zaman Now.

Dari pengalamannya mengelola pembelajaran, dan mengubah para siswa yang gemar tawuran menjadi pahlawan hemat energi itu, Rahmawati memenangi lomba Inovasi Pembelajaran Karakter Bangsa SMK Tingkat Nasional 2017 Kemendikbud. Ia berhasil meraih juara 1 nasional.  

Sebelum menerapkan inovasi pembelajaran terkait Sekolah Hemat Energi di Cikarang Barat (2015-2017), Rahmawati terlebih dulu menerapkan metode Inobel di  SMK Al Muslim Bekasi, tempat ia pernah menjadi wakil kepala sekolah bidang kurikulum (2005-2015). 

”Metode ini diberikan di sekolah-sekolah tentang tiga langkah hemat energi, dan bank sampah. Ini saya lakukan tahun 2010 saat saya mengajar di SMK Al Muslim. Kegiatan ini dibukukan oleh kementerian ESDM, dan dijadikan panduan untuk 5 ribu sekolah se-Indonesia,” ungkap Rahmawati.  

Rahmawati di Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ

Metode Inobel hasil kreasinya itu oleh Rahmawati dilombakan dan meraih Juara I Kategori Manajer Terbaik Sekolah Hemat Energi dari Kementerian ESDM pada 2013 dan 2014, serta Juara I The Best Mother School 2014 dari instansi kementerian yang sama. Kementerian ESDM pun memberikan Rahmawati kesempatan menyosialisasikan program sekolah Hemat Energi di berbagai sekolah dan instansi pemerintah di belasan daerah sejak 2013 hingga 2019.

Dalam metode tersebut, kata Rahmawati, memberikan ruang prakarsa kepada OSIS untuk mencari pendanaan kegiatan secara mandiri.  “Saya bawa OSIS agar bagaimana dalam menyelenggarakan kegiatan tidak selalu minta apa – apa ke manajemen sekolah. Tapi berusaha. Dari mana usaha memperoleh dana itu? Dari sampah-sampah yang terkumpul di kantin-kantin. Jadi mereka mengelola Bank sampah. Itu tahun 2010 belum ada sama sekali di Indonesia bank sampah yang dikelolah oleh OSIS,” terang Rahmawati tentang Inovasi Pembelajaran Sekolah Hemat Energi, dan Bank Sampah.

Menurut Rahmawati, Inobel tersebut memiliki makna yang baik bagi para guru untuk lebih mampu membuka diri belajar dengan para muridnya.  “Pembelajaran ini memberikan suatu makna bahwa kita sebagai guru harus sama-sama belajar dengan murid. Jadi jangan malu, sebab sekolah itu memberikan tempat kita bertemu dan berinteraksi, maka budaya belajar lebih mudah  terbentuk.  Apalagi anak zaman sekarang, kedekatan dengan seorang guru lebih senang sebagai seorang kawan. Jadi  bukan antara atasan dengan bawahan.  Jadi saya bawa metode ini dengan budaya belajar bersama, siswa belajar saya belajar. Mereka lebih nyaman, lebih enjoy. Ini yang pertama, dan ini sangat menyenangkan,” ujar Rahmawati, wisudawan terbaik IKIP Jakarta tahun 1996.

Kementerian ESDM mengadopsi temuan hasil riset lapangan yang dilakukan oleh Rahmawati dan para siswanya untuk sosialisasi hasil Lomba Hemat Henergi di sekolah (LHE) di 5 ribu sekolah di Indonesia.

Hasil LHE dari Inovasi Pembelajaran Rahmawati tersebut cocok dengan tujuan Kementerian ESDM, bahwa LHE bertujuan mempersiapkan para siswa untuk menjadi sumber daya manusian yang peduli dengan konservasi energy dan menjadi motor penggerak budaya hemat energi. 

Selain menghadirkan Guru Honorer Berprestasi Nasional, Reboan Pendidikan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ juga menghadirkan Dr. Jejen Musfah (Kaprodi Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah/Wasekjen PGRI), dan Sekjen FSGI, Heru Purnonomo, S.Pd.  Kegiatan yang dihadiri oleh Koordinator Tim Ahli Pedagogik Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ, Jimmy Philip Paat, dan Bendahara IKA UNJ Dr. Indra Fahrizal  tersebut dibuka dengan sambutan Dra. Budiarti, M.Pd., selaku perwakilan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta. (Bagian II dari dua tulisan).

News letter