Prof. Dr. Anna Suhaenah Suparno: Bagaimana Ada Ayam Kampung Dibandingkan Dengan Ayam Negeri (bagian II).

Abdullah Taruna,

“Kemudian UI, IPB minta saya yang menandatangani akta IV-nya. Jadi kami dalam hati yang perih itu harus terus bekerja. Kemudian perwakilan PR II-nya datang (istilah sekarang Warek II: Red.) ke saya selaku Dekan FIP IKIP Jakarta waktu itu. Ibu kami mohon Ibu bersedia menandatangani akta,” kata mereka seperti diceritakan Prof. Dr. Anna Suhaenah Suparno.

Mendapatkan permintaan untuk membubuhkan tanda tangan di akta IV, Prof Anna pun menjawab. “Saya menandatangani tapi saya tidak tahu prosesnya pak, bagaimana saya mau menandatangani ? kata saya. Tapi ini tugas pemerintah Ibu?” kata PR II UI, IPB. Saya Kan nggak mungkin terus menolak. Lalu saya katakan, saya mau menandatangani, tapi syaratnya saya harus melihat proses  pembelajarannya,” pinta Anna Suhaenah menyaratkan. 

Prof. Dr. Anna Suhaenah Suparno. Foto : Daiva Adinata.

PR II UI dan IPB pun mengangguk, tanda setuju dengan permintaan Dekan FIP IKIP Jakarta periode 1989 Anna Suhaenah Suparno.

“Nah ketika saya melihat proses pembelajarannya, mereka dari unsur pimpinannya bangga sekali, karena yang drop out itu  40 persen. Itu uangnya utangan dari Bank Dunia. Kita dari DIPA kalau  dulu DIP ya namanya, kalau kita dari mata uang rupiah. Jadi saya katakan Bapak tahu itu uang pinjaman Bank Dunia, kok bangga ada yang drop out sampai 40 persen? Saya ingin tahu prosesnya, baru saya mau menandatangani aktanya,” kembali Anna Suhaenah mengajukan syarat.

Kembali PR II UI dan IPB mengangguk, tanda menyetujui syarat yang diajukan Dekan FIP IKIP Jakarta Anna Suhaenah Suparno, pada masa itu.

Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ, Rabu, 18 September 2019.

“Jadi saya ini rada tengil juga dianggapnya oleh mereka. Jadi Bapak Ibu adik-adik ini tahu. Kalau MIPA, matematika, Kimia, Biologi, Fisika, itu nature atau hakikatnya itu hirarkhis sekali. Seperti bahasa, kalau tidak tahu obyek, tidak tahu transitif intransitif,” ujar Anna Suhaenah.

Begitu dipersilahkan menelusuri proses penyebab drop out program guru D3 MIPA besutan universitas, Anna pun mengajukan pertanyaan mendasar. “Nah saya katakan, mengapa sampai 40  persen drop out?  Lalu mereka jawab: oh begini Ibu, waktu middle tes, mereka gagal, mereka harus mengulang 2 minggu sebelum tes akhir. “Ya bergelimpanganlah jatuh , karena apa? karena MIPA itu hirarkhis ilmunya. Kan kalau tidak paham bilangan tidak bisa menambah mengurangi, kalau tidak bisa menambah tidak bisa mengalikan, kalau tidak bisa mengalikan tidak bisa menghitung pangkat/ akar, kemudian kalau tidak bisa mengurangi ya tidak bisa membagi. Di dalam fisika juga ada hirarkhisnya. Ketika saya menganalogikan kepada mereka. Kita tahu bak kontrol, ini supaya tidak bocor, ya harus ada saluran ke bawah. Kalau ketutup sampah daun-daunan pohon kan mampet ya harus dibersihkan dulu. Sama dengan orang-orang yang belajar ilmu-ilmu yang hirarkhis itu, kalau pra syaratnya tidak diperbaiki ya nggak akan sampai ke ujung,” ungkap Anna Suhaenah saat mengevaluasi proses belajar dan pembelajaran calon guru D3 MIPA universitas .

Sekjen IKA UNJ, Dr. Suherman Saji menyerahkan cinderamata untuk Prof. Dr. Anna Suhaenah Suparno.

Setelah berhasil menjelaskan kesalahan dalam proses belajar dan pembelajaran calon guru D3 MIPA oleh Perguruan Tinggi non LPTK, Anna Suhaenah pun mengupas kelemahan para pengajar dari kampus non LPTK.

“Jangan bangga anda melalaikan proses pendidikan yang ilmunya milik orang LPTK. Jadi evaluasi pendidikan tidak dipahami oleh mereka, prinsip belajar oleh mereka seperti itu. Sejak saat itu lalu pengajarnya diganti dari LPTK. Tapi saya memberikan bukti dulu. Jadi ada perubahan-perubahan tergantung kepada kita itu harus berani saja, jangan minder, kita belajar Psikologi pendidikan, kita belajar psikologi perkembangan dsb, harus bisa diekstrapolasi ke dalam situasi-situasi berbeda. Jadi itu mengenai D3 universitas negeri,” jelas Anna Suhaenah.

Anna Suhaenah kemudian menandaskan temuannya atas kegagalan guru diploma III produk perguruan tinggi ilmu murni pada masa itu. “Dilapangan Tempo mengadakan penelitian tentang kinerja dan sikap dari lulusan diploma III non LPTK, ternyata yang LPTK unggul di lapangan. Jadi pembentukan sikap profesional, kecintaan kepada anak, nawaitu (niat: Red.) yang berbeda, sebab ketika ditanya kenapa sih mengambil D3 di UI untuk mengajar, jawabnya, ya kan pakai jaket kuning. Ternyata ada yang menjawab seperti itu. Jadi jaket kuning itu ternyata gengsi. Ketika hasilnya seperti itu, seperti dari ITB mengomentari ah itu kan sampelnya yang nggak bener.  Jadi ada yang membela diri seperti itu, kita akan terus disorot,” kata Prof Anna Suhaena.

Sampai di sini, kita tidak hendak mengambil kesimpulan bahwa dengan biaya yang hanya 1/3 guru D3 perguruan non LPTK, para guru lulusan IKIP jauh lebih profesional dan bermutu. Biarlah hal itu menjadi renungan bersama para pemangku kebijakan pendidikan.

Program Gagal

Dalam makalah berjudul “Paradigma Baru Pembentukan dan Pengembangan Kompetensi Guru dan Implikasi Kelembagaannya”, yang disampaikan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar dalam Dies Natalis ke- 34 IKIP Yogyakarta, pada 18 Mei 1998, Pakar Pendidikan dari UNJ tersebut menyatakan bahwa program guru D3 terbitan LPTK tersebut gagal.

“Lihat misalnya suatu proyek yang dibiayai dari pinjaman Bank Dunia yaitu PGSD telah mengalami abortus sebelum kita menikmati hasilnya. Hal ini disebabkan karena ketiadaan rencana yang matang di dalam usaha meningkatkan mutu gurunya. Keluhan masyarakat terhadap mutu pendidikan kita pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan adalah sebenarnya merupakan refleksi dari mutu guru yang rendah,” tulis Prof. Dr. H.A.R. Tilaar dalam makalah tersebut, (lihat “Membina Profesi Guru Indonesia Abad 21, hal. 13)

News letter