Menemukan kembali pedagogik di LPTK, UNJ ?


Jimmy Ph. Paät[1]



[1] Pengajar di prodi Pendidikan Bahasa Perancis, UNJ.

 

Selamat pagi Ibu-Ibu, Bapak-bapak, teman-teman dan mahasiswi-a peserta diskusi. [1]

 

Rabu pagi, 16 Oktober 2019,  saya diundang panitia untuk ikut menjadi salah satu pembicara dalam diskusi Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ  yang berjudul “Revitalisasi pedagogik untuk Menjadikan UNJ LPTK Terdepan”. Sesuatu yang menggembirakan bagi saya berada di samping Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan, Guru pedagogik kami, dan juga Ibu Dr. Tjut Rifameutia, M.A., dekan Psikologi UI untuk bersama-sama  mendiskusikan persoalan Pedagogik. Sebenarnya melihat judul topik yang ditawarkan panitia mengingatkan saya 37 tahun lalu, tepatnya 1 Mei 1982, di kampus ini berlangsung panel diskusi dengan judul “Eksistensi Ilmu Pendidikan. Diskusi, yang saat itu diselenggarakan oleh FODIM IKIP Jakarta[2], dengan pembicara Prof Dr M. Said, Drs. A. Latif MEd., Dr Siswoyo dengan Moderator Prof. Dr Setijadi.

 

Kalau sepertiga abad lebih yang lalu para mahasiswi-a (baca FODIM IKIP Jakarta) mengajak Prof Dr M. Said, Drs. A.Latif MEd., Dr Siswoyo dengan Moderator Prof. Dr Setijadi, untuk mempertanyakan, keberadaan Ilmu Pendidikan (Pedagogik) paling tidak di IKIP Jakarta, dan sekarang Forum Diskusi Pedagogik (yang anggotanya bukan lagi mahasiswi-a) mengajak kami, para pembicara di diskusi sekarang ini, untuk “merevitalisasi pedagogik”. Rupanya, selama 37 tahun, kita, warga paguyuban sarjana pendidikan yang beralamat di Kampus Universitas negeri Jakarta, Rawamangun belum bergerak dari persoalan yang sama, masih berada dalam topik yang sama.   Dengan kata lain, nampaknya sejak 37  tahun lalu hingga sekarang posisi pedagogik tidak berada atau belum memperoleh tempat yang sesungguhnya.

 

Prof. M. Said  pada diskusi itu (1 Mei 1982) mengutarakan peribahasa untuk menggambarkan keadaan Ilmu pendidikan pada saat itu,”Bagai kerakap tumbuh di atas baru, hidup enggan mati tidak mau.” Dengan kata lain Guru Besar Ilmu Pendidikan di dekade 80 itu melihat Ilmu Pendidikan (selanjutnya Ilmu pendidikan saya pakai bergantian dengan Pedagogik) layaknya mahluk yang hidup dalam kesukaran (kemelaratan) terus menerus, atau layaknya manusia hidup sangat menderita. Ini merupakan gambaran Ilmu pendidikan yang sangat menyedihkan.  Prof. M. Said ternyata tidak sendirian melihat “kehidupan” Ilmu Pendidikan.

 

H.A.R. Tilaar setahun kemudian, Februari 1983, dalam diskusi yang kembali dilakukan FODIM IKIP Jakarta, melontarkan pernyataan yang lebih keras, yang kira-kira berbunyi, “ilmu pendidikan (di) Indonesia telah mati”[3]. Pernyataan Tilaar rupanya disambut oleh Mochtar Buchori dua tahun kemudian (28 Agustus 1985) melalui tulisannya yang berjudul “Lonceng kematian bagi Ilmu Pendidikan di Indonesai?[4] Ternyata Pedagogik  di awal dekade 80, bagi  ahli  pedagogik Indonesia, hidupnya merana.

 

Seperti dalam judul uraian ini, saya mencoba mengajak untuk menemukan kembali  pedagogik (seperti saya katakan di atas, lihat catatan kaki no.1, tiga kata ini saya ambil dari pernyataan Prof. Willi Toisuta). Artinya tiga kata itu merujuk pada anggapan bahwa Universitas pedagogik pernah ada tetapi sekarang “menghilang”. Untuk itu uraian saya ini saya bagi beberapa bagian. Pertama, melihat Pedagogik di LPTK, UNJ dari dekade 70 hingga sekarang; kedua, saya akan membahas peta ilmu pendidikan menurut Gert Biesta; dan ketiga pedagogik di Indonesia menurut KHD, Alex Tilaar dan Conny Semiawan; keempat, apa yang akan kita lakukan.

 

 

Pedagogik di dekade 70 hingga sekarang

 

Pilihan rujukan ke dekade 70-an, alasan utama  lebih karena saya mulai menjadi pelajar pendidikan di IKIP Jakarta pada tengah kedua dekade 70. Singkatnya karena alasan yang beraroma pribadi. Dengan kata lain saat saya mulai berkenalan dengan persoalan-persoalan pendidikan dan pengajaran yang dibahas secara ilmiah. Lebih persis lagi sejak masa saya bergaul dengan pedagogik, didaktik, metodologi pengajaran (kususnya yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Perancis sebagai bahasa asing). Meskipun begitu tentu saya akan menyentuh juga masa dekade sebelumnya yang hanya saya kenal melalui bacaan, dan dari kisah para dosen di IKIP Jakarta baik yang berada di FIP maupun di Fakultas Keguruan Bahasa dan Seni.

 

Seingat saya mata kuliah ilmu pendidikan dari tahun 70-an tidak lagi  bernama pedagogik[5]. Bisa jadi kata atau konsep pedagogik dan pedagogi tidak lagi biasa dipakai di dunia pendidikan guru bersamaan dengan “hilang”nya Fakultas Pedagogik Universitas Negeri Gajah Mada, yaitu tahun 1964 ketika fakultas tersebut dilebur atau masuk ke IKIP Yogyakarta. Sekalipun tidak lagi menggunakan nama pedagogik untuk mata kuliah utama bagi calon sarjana pendidikan, menurut pengalaman saya konsep pedagogik pada dekade 70 masih disebut-sebut meskipun samar-samar oleh para dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan.

 

Dalam kuliah pengantar ilmu pendidikan pada masa itu, nama Martinus Jan Langeveld satu-dua kali disebut-sebut, sedangkan judul buku dalam bahasa Belanda, Beknopte theoretische pedagogiek (mungkin bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Pedagogi teoretis secara singkat/ringkas” atau “Ringkasan teori pedagogik”) jarang sekali disebut. Besar kemungkinan karena para dosen pada masa itu kebanyakan tidak lagi mengenal bahasa Belanda. Ketidakpahaman atas bahasa Belanda di pihak dosen bukan saja tidak berani menyebutkan judul buku Langeveld tersebut tetapi besar kemungkinan penyebab pembahasan buku Langeveld tersebut tidak lagi disampaikan dalam kuliah[6]. Tidak berlebihan jika saya katakan pada saat itu (atau mulai saat itu) pedagogik Langeveld telah menghilang dari diskur pedagogik atau lebih sederhana lagi dari percakapan keseharian para calon guru di IKIP Jakarta.

 

Menghilangnya pedagogik Langeveld sesungguhnya telah lama jika kita merujuk kepada Tilaar. Menurut ahli  pedagogik Indonesia ini, orientasi pedagogik di Indonesia dari 1945 hingga 1955 dikuasai oleh pemikiran pedagogis Langeveld. Buku Langeveld di kurun waktu tersebut dijadikan buku teks di lembaga-lembaga pendidikan guru. Berangkat dari keadaan itu Tilaar menyebut telah lahir pada masa itu Langeveldianisme[7].

 

Karena Langeveld pernah begitu kuat mempengaruhi dunia teoretis pendidikan kita,  ada baiknya kita lihat sebentar apa sebenarnya pemikiran Langeveld, sebelum saya melanjutkan uraian saya lebih jauh.

 

Menurut Langeved pedagogik dikelompokkan sebagai ilmu Praktis (pedagogy as Practical Science[8]). Tentu saja yang dimaksud dengan praktis di sini bukan berarti teknis. Pedagogik merupakan ilmu pengetahuan  yang berurusan dengan hal-hal untuk mengetahui bagaimana harus bertindak[9] dalam mendidik.  Pedagogik, sebagai ciri lainnya, menurut Langeveld, berlawanan dengan ilmu murni karena dia merupakan bagian dari ilmu Humaniora. Sebagai ilmu humaniora, pedagogik  lebih menggunakan verstehen sebagai metode dalam penelitian pendidikan daripada  menggunakan “penjelasan (explication/erklarung) yang menjadi landasan metodologis ilmu alam. Dengan demikian  Pedagogik yang bertumpu pada interpretasi disebut ilmu interpretasi.

 

Ciri ketiga, pedagogik  itu disiplin ilmu normatif berarti pertimbangan nilai menjadi sangat penting. Ciri keempat pedagogik adalah dia sebagai disiplin ilmu yang otonom. Keotonomannya terlihat dari kepsesifikannya, yaitu pedagogik  bukan ilmu pengetahuan yang menggeneralisasi, atau disiplin ilmu yang “tidak bebas situasi”. Pedagogik adalah ilmu yang diantaranya berkaitan dengan membantu anak dalam keadaan kongkrit untuk mencapai potensi terbaiknya.

 

Sekalipun Langeveld mengatakan pedagogik sebagai ilmu yang otonom, dia tetap beraggapan pedagogi  memiliki hubungan yang sangat khusus dengan psikologi dan sosiologi. Artinya kedua disiplin itu membantu pedagogik sekalipun berbeda tujuan. Kedua disiplin ilmu itu bagi Langeveld bertujuan menggeneralisasi dan tidak praktis. Pedagogik Langeveld memiliki aksioma pedagogik, yaitu “pendidikan atau mendidik harus didasarkan pada fakta yang mendasar: manusia memulai hidupnya sebagai anak kecil dan tidak dapat membentuk dirinya menjadi manusia tanpa dibesarkan, dididik oleh manusia lain”[10].

 

Berdasarkan uraian singkat di atas bisa dikatakan bahwa pedagogik Langveld lah yang telah hilang di dunia pendidikan atau  lebih sempit di ranah diskur teoretis pendidikan kita. Pertanyaan yang muncul adalah setelah hilang langeveldianisme, atau dalam bahasa yang lebih luas, setelah orientasi pedagogik kontinental[11] “lenyap”, orientasi pedagogik apa yang menjadi pegangan para pendidik dan calon pendidik yang sedang menempuh studi di LPTK? Kembali merujuk ke Tilaar, jawabannya orientasi Amerikanisme, atau mungkin kita bisa menyebut orientasi Anglo-Amerika, untuk menggunakan ungkapan Gerts Biesta[12].   

 

Perbedaan orientasi studi ilmiah pendidikan di LPTK dikemukakan juga oleh Mochtar Buchori[13]. Yang terakhir ini,  melihat perbedaan pola pengembangan Ilmu Pendidikan di program Strata 1, IKIP (FIP Khususnya) dengan di Fakultas Pasca Sarjana  IKIP. Di tingkat S1 menurut Buchori menggunakan konsep pedagogi, yaitu “ilmu yang bersifat terbatas” sedangkan di pasca menggunakan konsep “education”, konsep yang luwes dengan demikian studi ilmiah pendidikan bersifat terbuka dan diredefinisi tanpa henti. Dengan kata ini, kita dapat mengaakan bahwa Buchori ingin menunjukkan di LPTK dijalankan orientasi pendidikan Amerika dan Kontinental.  

 

Pada dekade 60-70, tetap menurut Tilaar, mereka yang belajar di Amerika Serikat kembali ke tanah air, dan merekalah mengubah orientasi Kontinental ke Amerikanisme. Sayangnya sang pedagog besar ini tidak menyebutkan data yang berkaitan dengan jumlah orang Indonesia yang belajar pendidikan pada saat itu di Amerika Serikat, dan bagaimana hingga “matinya pedagogik” (untukmmenggunakan ungkapan Tilaar, langeveldisme.

 

Menurut catatan saya, mereka yang belajar pendidikan di Amerika Serikat dekade 50-60, untuk hanya menyebut beberapa di antaranya yang menjadi tokoh pendidikan: Imam Barnabib[14] Mochtar Buchory[15], Setijadi[16], Sikun Pribadi[17], H.A. R. Tillaar[18],  Winarno Soerakhmad[19]. Tentu saya menyebut beberapa nama sarjana pendidikan yang berperan penting tidak saja dalam dunia pendidikan guru tetapi dunia pendidikan secara keseluruhan, bukan untuk mengatakan mereka yang mengubah orientasi ilmu pendidikan kita dengan jalan “menghidupkan” orientasi Amerikanisme. Jauh dari itu selain saya memang tidak ada kemampuan untuk menilai hal tersebut, meskipun itu merupakan topik penting dalam diskusi sekarang ini.   

 

Ada baiknya sekarang kita lihat Program Profesi Pendidikan Guru (PPG) yang diikuti guru atau disebut PPG untuk Guru dalam jabatan[20].  Para guru peserta PPG mempelajari 6 Modul PPG.

-       Modul 1: Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21; Peran Teknologi dan Media  dalam Pembelajaran Abad 21; Merancang dan Menilai Pembelajaran Abad ke 21;

-       Modul 2. Kompetensi Guru;   Strategi peningkatan Profesionalisme berkelanjutan;

-       Modul 3: Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran; Teori Belajar Kognitif dan Penerapannya dalam Pembelajaran; Teori Belajar Konstruktivistik dan Penerapannya dalam Kegiatan Pembelajaran; Teori Belajar Humanistik dan penerapannya dalam Kegiatan Pembelajaran;

-       Modul 4: Karakteristik Umum Peserta Didik; Pengertian kemampuan Awal peserta didik; Gaya Belajar Peserta Didik;

-       Modul 5: Model-Model Pembelajaran; Media Pembelajaran; Pengembangan Bahan Ajar;

-       Modul 6: Pengertian Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi; Penilaian Otentik; Menulis (Membuat) Tes Hasil Belajar;  Menelaah Tes Hasil Belajar;

 

Terlihat jelas bahwa LPTK tidak mengajak para guru peserta PPG untuk bergaul dengan Pedagogik. Mari kita perhatikan lebih dekat Modul 2, kegiatan belajar 1 Kompetens Guru. Pada modul itu, kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sedangkan yang dimaksud kompetensi pedagogik, menurut modul tersebut, berkaitan dengan pemahaman terhadap anak didik, pengelolaan  kegiatan belajar-mengajar (merencanakan-melkasnakan, mengevaluasi).lebih jauh diuraikan  yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik berkaitan dengan menguasai sifat anak didik (fisik, moral, sosial, kultural, emosional, intelektual),  menguasai teori belajar, mengembangkan kurikulum bidang studi, penggunaan teknologi informasi, mengaktualisasikan potensi anak didik, mampu berkomunikasi dengan anak didik, mampu  mengevaluasi proses dan hasil belajar  … Singkatnya  kompetensi pedagogik dalam modul tersebut pencampuradukkan penyusunan rencana pengajaran, teori belajar, kurikulum, evaluasi. Tidak ada satu kalimat pun yang menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pedagogik, apa lagi orientasi pedagogik.

 

Jika kita perhatikan 6 modul di atas (termasuk daftar pustaka[21]), tidak berlebihan jika dikatakan PPG, atau lebih luas lagi, LPTK didominasi oleh psikologi pendidikan (teori belajar) dan teori instruksional.  Ketakberdayaan pedagogik di LPTK tampak jelas.


Jika tidak hanya kami yang merasakan ‘menghilangnya” pedagogik, tentu selain kita harus menemukannya kembali, kita juga harus menjadikan kembali pedagogik sebagai disiplin ilmu utama pelajar pendidikan, calon guru. Dengan kata lain menjadikannya kembali sebagai “jiwa” sarjana pendidikan.  Untuk melakukan itu semua, kita perlu melihat dengan jelas konstruksi pedagogik. Agar kita tidak terkecoh ketika akan menghidupkannya kembali.

 

Tilaar, seperti dikemukakan di atas, berpendapat bahwa  selama satu dekade, yaitu 1945 sampai 1955, Lembaga pendidikan guru dikuasai oleh konstruksi pedagogik kontinental. Kemudian setelah dekade 60 atau 70 terjadi perubahan orientasi teori pendidikan. Dunia teoretis pendidikan di Indonesia dikuasia oleh orientasi studi ilmiah pendidikan amerikanisme atau Anglo-Amerika. Dengan kata lain sesungguhnya hadir dua konstruksi studi ilmiah pendidikan. Kita perlu mengetahui dengan jelas dua konstruksi tersebut, agar, kita mampu membangun pedagogik yang memang tepat untuk para calon guru di LPTK.

 

Peta studi pendidikan akademis:

Studi Pendidikan Kontinental (Pedagogik) dan Studi Pendidikan Anglo-Amerika (Studi Pendidikan interdisiplin)[22]

   

Sepanjang saya menjadi pelajar pendidikan, pengkategorian konstruksi studi tentang pendidikan secara akademis: konstruksi Kontinental dan konstruksi Anglo-Amerika tidak menjadi pembahasan di kelas-kelas kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan, paling tidak di LPTK, UNJ. Padahal para sarjana pendidikan segenerasi Pak Tilaar atau Ibu Conny Semiawan mengetahui pengklasifikasian tersebut. Pengetahuan pengkategorian yang bisa  dianggap sebaga peta studi pedidikan yang akademis itu perlu diketahui bagi siapapun yang sedang atau akan studi ilmaih pendidikan. Layaknya peta, dia berfungsi sebagai instrumen yang membantu kita untuk tidak hilang arah saat berjalan di daerah studi pendidikan yang akademis.

 

Untuk apa berbicara dua konstruksi studi pendidikan akademis? Untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya, mengikuti alur pikir Gert Biesta, studi pendidikan akademis dapat dibangun secara khas, sesuai dengan tempat.

 

 

 

Konstruksi Anglo-Amerika[23]

 

Biesta berangkat dari pandangan Paul Hirst mengutarakan bahwa studi pendidikan secara ilmiah atau akademis bukan disiplin ilmu yang otonom[24], tetapi  disiplin ilmu gabungan, campuran. Alasan Hirst adalah teori pendidikan tidak menghasilkan pemahaman tunggal tentang pendidikan tetapi sepenuhnya bergantung pada pengetahuan yang dihasilkan melalui disiplin-disiplin ilmu dasar[25] (seperti sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat).

 

Johan William Tibble mengutarakan lebih jelas ketidakotonomian studi ilmiah pendidikan, “… tidak ada cara berpikir 'pendidikan' yang khas; dalam mempelajari pendidikan seseorang menggunakan cara-cara berpikir psikologis atau historis atau sosiologis atau filosofis untuk menerangkan beberapa masalah yang dihadapi manusia saat belajar (atau saat didik, ditambahkan oleh kami).” [26]

 

Psikologi merupakan disiplin ilmu yang sangat kuat mempengaruhi studi ilmiah pendidikan yang campur-campur ini, termasuk dalam kerja guru. Hal ini terlihat juga dalam modul-modul PPG yang dlaksanakan di LPTK. Sekalipun begitu kita masih perlu meneliti lebih jelas apakah LPTK memang menggunakan konstruksi Anglo-Amerika. Perhatikan misalnya modul-modul PPG (yang  saya anggap menggambarkan juga apa yang diberikan di para calon Guru di strata 1 LPTK), kita tidak melihat dengan jelas cara pikir sosiologis, apa lagi filosofis. Dua disiplin ilmu, yang sangat diperlukan untuk berkontribusi dalam pembahasan pendidikan, jika kita merujuk pada orientasi studi iliah pendidikan Anglo-Amerika, menurut pengalaman saya sebagai pengajar di LPT, UNJ, yang “tidak dikenal” dengan baik, untuk tidak mengatakan  tidak dikenal sama sekali, oleh para calon guru dan juga guru. Kealpaan tinjauan sosiologis ini mengantar para calon guru di LPTK maupun guru menyamaratakan semua anak yang datang dari berbeda latar belakang sosial. Mereka lebih cepat untuk ‘menilai” atau “membaca” murid dengan menggunakan konsep psikologis yang bisa dikatakan sudah populer, seperti “anak kurang motivasi”.

 

 

Konstruksi Kontinental[27]

 

Konstruksi disiplin pendidikan ilmiah, seperti yang dikemukakan Tilaar, pernah hidup dengan baik selama satu dekade awal kemerdekaan bangsa ini. Yaitu langeveldianisme.

 

Apa ciri disiplin ilmiah pendidikan yang hidup di dunia Eropa daratan, khususnya di negara yang kena pengaruh tradisi Jerman? Pertama, studi pendidikan secara ilmiah tidak berangkat atau tidak mendapat bantuan dari disiplin ilmu lain. Disiplin ilmu yang berdiri sendiri[28]. Ini mungkin yang disebut Buchori “ilmu yang bersifat terbatas”.[29]

 

Kedua, berangkat dari konsep erziehung (pendidikan), pedagogik sebagai disiplin ilmu normatif, disiplin ilmu yang tidak hanya mengartikulasikan tujuan pendidikan dan pengembangan pedoman untuk prajtik pendidikan, tetapi juga  menjustifikasi, memberi alasan-alasan atas penentuan tujuan-tujuan tersebut.

 

Pedagogik juga dalam konstruksi kontinental, berada dalam ilmu humaniora, dengan kata lain dilawankan dengan ilmu alam. Ini pengaruh besar dari Wilhem Dilthey yang membedakan studi tentang fenomena alam dengan studi mengenai fenomena sosial-historis. Dunia alam merupakan dunia sebab-akibat karena itu perlu penjelasan, Sedangkan dunia sosio-historis, yang merupakan  bagian dari pedagogik humaniora, adalah dunia yang perlu pemahaman, bukan penjalasan. Dengan demikian fenomena pendidikan, dari sudut pandang pedagogik atau studi ilmiah pendidikan orientasi kontinental, perlu diinterpretasi. Penginterpretasian praktik pendidikan ini datang dari orang dalam, orang yang terlibat dalam pendidikan.

 

Pedagogik humaniora ini, seperti yang sudah diruaikan di atas, kaitannya dengan pedagogik Langeveld, adalah disiplin ilmu praktis. Artinya disiplin ilmu tentang dan untuk praktik pendidikan. Pedagogik sebagai disiplin ilmu yang otonom berurusan dengan hak anak untuk penentuan nasib sendiri.[30]

 

Orientasi Anglo-Amerika meminta studi ilmiah pendidikan diteliti, dipelajari, dipahami dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu: sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat. Singkatnya studi ilmu pendidikan adalah studi interdisipliner.

 

Ciri atau identitas konstruksi disiplin  ilmiah pendidikan Anglo-Amerika adalah obyek studinya yang umum, sedangkan pedagogik humaniora lebih pada perhatian, minatnya terhadap nilai yang khusus[31]. Di tempat yang lain Biesta dkk.[32] mengutarakan bahwa identitas kedisiplinannya lebih banyak ditentukan oleh perhatian, minat, dalam pendidikan, pada suatu proses yang dalam beberapa cara atau bentuk harus mendukung emansipasi anak-anak menuju (tingkat tertentu) penentuan nasib sendiri - dan dengan demikian telah mengembangkan bentuk teori dan cara berteori untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mempromosikan proses tersebut.[33]

 

Gambaran identitas disiplin ilmu diperjelas oleh Biesta  dengan memberi contoh misalya disiplin ilmu kedokteran yang dicirikan oleh perhatian atau minatnya pada kesehatan, disiplin ilmu hukum dicirikan melalui minatnya pada keadilan.

 

Sekalipun dua konstruksi ini berbeda, tidak berarti tidak ada kesamaan, Biesta[34] memperlihatkan kesamaannya adalah kedua konstruksi tersebut berurusan persoalan normatif atau persoalan yang seharusnya. Jika orientasi Kontinental meletakkan pedagogik sebagai imu pengetahuan yang bertujuan menghasilkan pedoman-pedoman yang berisi cara-cara berindaka yang benar dalam kegiatan pendidikan, sedangkan bagi orientasi Anglo-Amerika, studi-studi ilmu pendidikan bertujuan memproduksi ide-ide mengenai “apa yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan pendidikan”.

 

Sebagai penutup uraian peta studi pendidikan akademis, mari kita lihat  kembali unsur pembeda dua konstruksi tersebut. Bidang studi disiplin ilmiah pendidikan yang berada dalam garis Anglo-Amerika berkembang di dunia pendidikan guru. Sehingga disiplin ilmu pendidikan ini berhubungan erat dengan pendidikan di sekolah[35]. Jika kita melihat di LPTK bisa dikatakan mungkin hanya satu dari empat disiplin ilmu yang menjadi penyumbang penting dalam pengonstruksian disiplin akademis pendidikan Anglo-Amerika, yaitu psikologi. Ini pun sebenarnya dipertanyakan sumbanganya di LPTK, UNJ. Jika lembaga pendidikan guru tersebut diambil  sebagai kasus. Begitu juga dengan tiga disiplin ilmu lainnya ; filsafat, sejarah, sosiologi bisa dikatakan  sama sekali tidak terdengar sebagai unsur -unsur penting dalam konstruksi disiplin ilmu pendidikan model Anglo-Amerika di LPTK yang bernama UNJ.

 

Sedangkan pedagogik sebagai disiplin ilmu yang otonom, sepertiy ang dikemukakan Biesta,[36] tidak  secara eksplisit berkaitan dengan persoalan pengajaran dan pendidikan di sekolah. Sekalipun Pedagogik memusatkan perhatian pada apa yang disebut Meschwerdung   atau proses tindakan membantu anak didik menjadi manusia.

 

Apa kelebihan atau karakteristik pedagogi sebagai disiplin ilmu otonom? Jika psikologi pendidikan membahas atau melontarkan pertanyaan-pertanyaan psikologis mengenai pendidikan, jika sosiologi pendidikan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sosiologis mengenai pendidikan, jika flisafatpendidikan mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai pendidikan, jika sejarah pendidikan mengajukan pertanyaan-pertanyaan historis mengenai pendidikan, jika neuropendidikan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan otak ketika berurusan dengan pendidikan. lalu siapa yang melontarkan pertanyaan pedagogis tentang pendidikan. Bukankah guru di kelas, di sekolah selalu berada dalam konteks pendidikan, dengan kata lain mereka tidak bisa tidak harus melontarkan pertanyaan pedagogis untuk bisa menjawab persoalan pedagogis? Mengenai pendidikan sudah seharusnya ditanya dari sudut pendidikan, pedagogis.

 

Di sinilah mungkin menariknya pedagogik orientasi atau konstruksi Kontinental. Pedagogiklah yang menangkap realitas pendidikan sebagai realitas pendidikan, jika saya mengikuti alur pikir Biesta.[37]

 

Pertanyaan pendidikan tentang pendidikan seharusnya dilontarkan, diajukan oleh mereka yang pelajar pendidikan. Untuk menjawab pertanyaan pendidikan tentang pendidikan tidak bisa tidak perlu mengetahui konsep pendidikan. Atau dengan kata lain seorang sarjana pendidikan yang akan melakukan penelitian pendidkan perlu mengetahui apa itu pendidikan, untuk apa pendidikan, apa fungsi pendidikan.

 

 

Apa itu pendidikan?

 

Kata pendidikan mungkin kata yang paling sering dipakai oleh anggota lembaga pendidikan ini, UNJ. Pendidikan merujuk pada Biesta, yang menggunakan konsep dalam bahasa Jerman, Erziehung, adalah aktifitas pendidikan yang dilakukan seseorang dengan niat tertentu terhadap orang lain. Melalui pendidikan seseorang diantar  menjadi atau ke manusia yang merdeka. Ini berkaitan dengan apa yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara. Hanya Biesta tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan  manusia merdeka, sedangkan KHD mendefinisikan apa yang dimaksud dengan merdeka: “lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sediri dan  adapt berdiri sendiri karena kekuatan sendiri”[38] atau dalam definisi lain,  “a. Tidak hidup terperintah; b. berdiri tegak karena kekuatan sendiri, c. tjakap mengatur hidupnja  dengan tertib.”[39] Inilah yang disebut pangkal kemerdekaan oleh KHD. Pertanyaan yang mungkin perlu dikemukakan kaitannya dengan  pendidikan yang memerdekakan KHD, “apakah pendidikan KHD ini terlepas dari apa yang disebut “paradoks pendidikan” yang dirangkum oleh Immanuel Kant dalam bentuk pertanyaan,”bagaimana saya menumbuhkan, mendidik manusia menjadi  merdeka dengan menggunakan paksaan?”[40]  

 

 

Untuk Apa Pendidikan?

 

Bicara pendidikan selain  mempertanyakan apa pendidikan itu, pertanyaan yang penting yang perlu diajukan adalah untuk apa pendidikan atau apa fungsi pendidikan. Biesta mengelompokkan tiga  fungsi pendidikan. ketiga fungsi ini berjalan bersama: kualifikasi, sosialisasi dan subyektifikasi. Yang pertama berkaitan dengan pendidikan yang memberikan pengetahuan, keterampilan, pemahaman, termasuk lterasi pilitik literasi budaya (cultural literacy) kepada anak-anak, remaja juga orang dewasa agar mampu melakukan sesuatu dari yang paling spesifik, seperti pelatihan keterampilan, hingga yang  lebih umum seperti memperkenalkan nilai-nilai budaya tertentu hingga  menjadi warga masyarakt yang berbudaya. Fungsi inilah yang banyak dibicarakan orang karena melalui fungsi pendidikan ini  orang berbicara persiapan tenaga kerja, kontribusi pendidikan terhadapa pembangunan, pertumbuhan ekonomi.

 

Fungsi kedua, yaitu sosialisasi. Melalui pendidikanlah kita menjadi bagian dari masyarakat, budaya dan politik tertentu.

 

Fungsi yang ketiga disebut Biesta subyektifikasi (subjectification), yaitu proses menjadi subyek. Dalam pengertian ini, mengikuti Jacques Ardoino[41], subyek dapat berbentuk atau berwujud l’agent (agent ) atau l’acteur (aktor), atau l’auteur (pencipta). Agent layaknya sebuah unsur sebuah mesih. Seorang subyek yang berperan sebagai agent bisa memiliki kompetensi tetapi dia tidak berpikir  panjang. Aktor, seperti layaknya pemain teater, dia memainkan suatu peran, menginterpretasi suatu karya tetapi peran, karya yang dibuat orang lain.  Seorang aktor tetap digerakkan. Berbeda dengan pencipta (lauteur). Konsep ketiga adalah auteur atau pencipta atau kreator. Konsep subyek pencipta atau kreator ini jika kita masukkan dalam ranah pendidikan, mereka dalah subyek yang merancang sendiri tujuan-tujuannya dan bertanggungjawab atas pencapaian tujuan yang dibuatnya sendiri. Pendidikan sepatutnya melihat dari tiga “bahasa”, bahasa organisasi untuk agent, bahas sosiologi untuk aktor, dan  bahasa psikologi, psikologi sosial, politik untuk kreator, pencipta (l’auteur).

 

 

 

Pilihan: orientasi Kontinental atau Anglo-Amerika atau kedua-duanya?

 

Sebagai penutup, kembali ke peta disiplin pendidikan akademis yang telah diutarakan di atas, dalam rangka  menemukan kembali pedagogik yang telah hilang di LPT,K UNJ, hemat kami kita perlu memikir ulang dengan melihat peta konstruksi tawaran Biesta. Memilih salah satu atau menghidupkan keduanya. Mochtar Buchori 34  tahun lalu, setelah menunjukkan bahwa ada dua pola dalam studi pendidikan di IKIP, yaitu pola Amerika yang merujuk atau memegang konsep “education” dan pola yang menggunakankonsep “paedagogie”,  telah mengajak para sarjana pendidikan untuk “tidak terombang ambing” dalam dua pola tersebut.[42]  Ajakan Buchori menurut saya telah dijawab oleh Conny Semiawan dan H.A.R. Tilaar.

 

Conny Semiawan 14 tahun lalu menyampaikan gagasannya mengenai  ilmu pendidikan yang dibangun berdasarkan konsep multireferensial[43]. “

 

                         … Ilmu pendidikan yang dibangun atas referensi jamak (          multireferensial), yang berakar dari psikologi, antropoloi,        sosiologi dan filosofi[44]

 

Sedangkan Tilaar, yaitu tahun 2002 menyampaikan apa yang disebutnya pedagogik Transformatif untuk Indonesia[45]. Pedagogik yang mengingatkan kita pda Pedagogik Kritis Freire. Kemudian  tigabelas tahun kemudian Tilaar kembali menawarkan pedagogik sebagai ilmu praksis yang merupakan cabang filsafat terapan[46]. Tawaran Tilaar yang terakhir ini tetap merujuk pada Paulo Freire.

 

Sekalipun Tilaar dan Conny Semiawan telah mencoba “menghidupkan” kembali Pedagogik paling tidak di UNJ, kami beranggapan usaha dua tokoh akhli pedagogik tersebut belum terasa di UNJ. Karena itu saya masih tetap beranggapan kita masih perlu untuk lebih kuat untuk menghidupkan kembali Pedagogik yang sempat hilang dua  dekade jika saya merujuk saat Tilaar berteriak, “ilmu Pendidikan di Indonesia telah mati”. Jika  tidak dilakukan penghidupan tersebut, saya khawatir jika tidak mati, kemungkinan besar apa yang dilontarkan  Moh. Said 37 tahun lalu, “Ilmu pendidikan bagai kerakap tumbuh di atas baru, hidup enggan mati tidak mau.”

 

Dengan jumlah mendekati 30.000 sarjana pendidikan dan calon sarjana pendidikan yang berakfitas pendidikan di UNJ, ini berarti potensi besar untuk menghidupkan kembali pedagogik.  

 

 

Terima kasih

 

 

 

 

 

 



[1] Dalam penyusunan bahan diskusi ini saya dibantu Lody F. Paat. Tanpa bantuannya tulisan ini tidak  dapat saya sampaikan dalam diskusi ini. Untuk itu saya mengucap terima kasih banyak atas bantuannya. Sekalipun begitu tanggungjawab isi tulisan ini ada pada saya..

 

[2] FODIM (Forum Diskusi mahasiswa) IKIP Jakarta merupakan suatu wadah para mahasiswi-a (pelajar pendidikan muda) mendiskusikan persoalan-persoalan pendidikan. Pimpinan Forum tersebut Lody F. Paat mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP, IKIP Jakarat. Para sarjana pendidikan yang pernah diundang dalam diskusi terbuka dan tertutup yang dilakukan FODIM di antaranya, Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan, Dr. Jujun Surya Sumantri, Prof. Dr. Setijadi (dan Ibu Setijadi). Di akhir dekade 70 atau awal dekade 80, kami telah menyimak penjelasan Ibu Conny Semiawan mengenai neuroeducation. Tidak berlebihan jika kami menyebut Ibu Conny sebagai orang pertama di paguyuban sarjana pendidikan Indonesia atau di dunia pendidikan secara umum yang memperkenalkan, mempopulerkan neuroeducation. Sedangkan bersama Pak Setijadi (dan Ibu Setijadi), anggota FODIM diajak untuk menggali pendidikan sampai ke akar dengan bantuan pemikiran pendidikan Krishnamurti.

 

[3] Dalam Prof. Dr. H. M. Said, Ilmu pendidikan, Penerbit Alumni, Bandung, 1989, hal. viii mengutarakan, “… dalam satu Diskusi panel di IKIP Jakarta bulan Februari 1983 dikemukakan pernyataan, bahwa Ilmu pendidikan di Indonesia hampir mati…” Sayangnya penulis tidak menyebutkan yang meneriakkan pernyataan tersebut. Sang peneriak itu adalah H.A.R. Tilaar.

 

[4] Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan, IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, Jakarta, 1994, hal. 1-9. Tulisan itu sendiri bertanggal 28 Agustus 1985. Tulisan ini diterbitkan juga dalam Mochtar Buchori, “Lonceng Keematian bagi Ilmu pendidikan di Indonesia”, dalam  Spektrum problematika pendidikan diIndonesia, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 3- 10.

 

[5] Kalau memori jangka panjang saya masih setia nama mata kuliah yang dipakai di dekade 70-an adalah Pengantar Ilmu Pendidikan. Penamaan untuk mata kuliah ini sepengamatan saya di setiap jurusan tidak selalu sama: di antaranya Landasan Kependidikan (Prodi Seni Tari), Landasan Ilmu kependidikan (prodi Pendidikan Sosiologi), Landasan Ilmu Pendidikan (Prodi Teknologi Pendidikan). Bisa jadi kata atau konsep pedagogik dan pedagogi tidak lagi biasa dipakai di dunia pendidikan guru bersamaan dengan “hilang”nya Fakultas Pedagogik Universitas Negeri Gajah Mada, yaitu tahun 1964 ketika fakultas tersebut dilebur atau masuk ke IKIP Yogyakarta. Fakultas pedagogik UGM berdiri tahun 1950. Lihat Machmoed Effendhie, Yang Tercecer dari Sejarah UGM: SEJARAH SINGKAT FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN (PEDAGOGIK) UNIVERSITAS GADJAH MADA, 1955 – 1964 https://arsip.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/401/2011/07/pedagogik-ugm.pdf, diunduh 2 Oktober jam 19.05.

[6] Buku Langeveld tersebut saat saya kuliah telah diterjemahkan oleh Prof. I. P Simanjuntak, dan dijual di Toko Buku yang berada di kampus IKIP Jakarta. Buku masih berbentuk “stensilan”, begitu kata yang biasa digunakaan saat itu. Sayangnya buku tidak diedit sehingga buku sulit dipahami oleh mereka yang ingin masuk ke pemikiran Langeveld.  Terjemahan buku tersebut sekarang dapat diperoleh di dunia maya. Tetapi setelah saya baca terasa bahwa ada persoalan dalam pengeditan. Pertanyaan yang mungkin bisa dikemukakan pada sang pengedit, “apakah saat pengeditan rujukannya buku berbahasa Belanda atau bahasa Jerman atau bahasa Jepang? Mengenai keterangan penerjemahan ke dua bahasa tersebut lihat Bas Leveering, “Martinus Jan Langeveld: Modern Educationalist of Everyday Upbring” in paul Standish, Naoko Saito (eds.), Education and Kyoto School of Philosophy. Pedagogy for Human Transformation, Bab 10, Dordrecht, Springer, 2012.

 

Hemat kami untuk memasuki pemikiran sang ahli pedagogik Belanda tersebut tanpa pengetahuan bahasa Belanda yang baik tentu akan tertatih-tatih, atau bisa jatuh ke kesalahpahaman total. Sayangnya tulisan Langeveld lebih banyak dalam bahasa Belanda. Adda beberapa dalam bahasa Inggeris yang terbit dalam jurnal

 

[7] Lihat H.A.R. Tilaar, Perubahan  sosial dan pendidikan. Penganta Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal. 159. Dalam buku ini (hal. 154-161) Tilaar membagi “Perkembangan Orientasi Pedagogik  di Indonesia” menjadi  3 Era. Pertama, Kolonial : 1900-1942. Di masa ini pedagogik merujuk pada Johan Friedrich Herbart, Maria Montessory, Ovide Decroly, pedagogik yang berpusat pada anak, rasionalisme ; 1942-1945, jaman Jepang, berorientasi militerisme; Kedua, Poskolonial (1945-1955), beorientasi pada Langeveld; dan ketiga, Kemerdekaan:  1955-1960; Orde Lama (1959-1967);  Orde Baru:  (1965-1997) ; Orde Reformasi (1997 sampai sekarang).

 

[8] Uraian mengenai Langeveld ini dirujuk kepada Bas Levering, “Martinus Jan Langeveld : Modern Educationalist of Everyday Upbringing”,  in Paul Standish & Naoko saito (editors) Education and the Kyoto School of Philosophy Pedagogy for human Transformation, Dordrecht, 2012, Bab 10, hal.  133- 146. Tulisan Levering ini singkat tetapi cukup memberi gambaran pemikiran Langeveld. Menarik di Indonesia yang pernah hadir Langeveldia

 

[9] Levering, Ibid., hal. 136.

 

[10] Ibid. hal. 137.

 

[11] Istilah digunakan Tilaar, lihat pengantar Pedagogik Transformatif, op.cit., hal. 159

[12] Gert Biesta, “Disciplines and theory in the academic study of education:
a comparative analysis of the Anglo-American and Continental construction of the field”,  
Pedagogy, Culture & Society Vol. 19, No. 2, July 2011, 175–192 https://doi.org/10.1080/14681366.2011.582255, diambil 15 Juni 2017 jam 19.05.

[13] Mochtar Buchori, “Lonceng Keematian bagi Ilmu pendidikan di Indonesia”, dalam  Spektrum problematika pendidikan diIndonesia, hal. 3- 10.

[14]  Imam Barnabib memperoleh Master of Art dari Universitas New York  1959, dan Doktor dari universitas yang sama 1973. Diunduh dari https://pacitanku.com/2013/07/27/imam-barnadib-tokoh-pendidikan-dari-pacitan/  4 Oktober jam  14.32. Prof, Imam Barnabib oleh pelajar pendidikan di LPTK di deka 70-an akhir dan 80-an dikelompokkan sebagai profesor filsafat pendidikan di Indonesia. Bidang yang bisa dikatakan tidakterlalu disentuh oleh para sarjana pendidikan.

 

[15] Mochtar Buchori memperoleh master pendidikan dari Universitas Nebraska, 1957, dengan tesis berjudul ”Teacher Training and Social Reconstruction in Indonesia”, dan mengikuti program doktor Universitas Harvard 1970. Lihat Agus Suwignyo, "Mochtar Buchori, Pemikir Pendidikan", https://nasional.kompas.com/read/2011/10/13/02133588/mochtar.buchori.pemikir.pendidikan?page=all. Diambil 3 Oktober jam, 16.05

 

[16] Setijadi memperoleh master dalam pendidikan dari Universitas Colorado, AS, 1958, dan Ph.D. dalam Educational Psychology dari Universitas Cornell, New York, AS, 1964. https://ahmad.web.id/sites/apa_dan_siapa_tempo/profil/S/20030625-100-S_1.html, diambil tagl 3 Oktober jam 16.26

[17] Sikun Pribadi memperoleh doktor pendidikan tahun 1965 di Ohio State University, dengan judul disertasi, In Search of a Formulation of the general Aim of Education, lihat Prof. Dr. H. Waini asyidin, M. Ed., Pedagogik Teoretis  dan Praktis, penerbit Remaja Rosdakarya, 2016 (cetakan pertama 2014), hal. 216.

[18] Lihat Indonesia Tera, H.A.R. Tilaar belajar di University of Chicago 1964-1965 dan memperoleh Master of Science of Education dari Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat, pada tahun 1967, dan Doktor Pendidikan diperoleh dari universitas yang sama pada tahun 1969. https://indonesiatera.com/prof-dr-har-tilaar-msced/ diambil 3 Oktober jam 16.15

 

[19]  Winarno Surakhmad memperoleh M.Sc.ed dari State University of New YorkAmerika Serikat,1958 dan melanjutkan studi School of Education and Psychology Stanford University, 1963, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Winarno_Surakhmad, diambil tgl 3 Oktober jam 15.35

 

[20] Saya merujuk pada Modul PPG untuk Guru dalam jabatan Program PPG di LPTK, Universitas Cenderawasih, Jayapura dari bulan Juni sd November 2019. Terima kasih untuk Ibu Eva Sihotang, Guru Bahasa Inggeris  SMA NEGERI 1 WARMARE, MANOKWARI; lihat jugahttps://www.jalurppg.id/2019/05/modul-pedagogik-terlengkap-2019.html?m=1 yang berisi Modul Pedagogik 2019, diunduh 13 Oktober jam 21.43

[21] Jika kita perhatikan Daftar Pustaka PPG yang setebal 9 halaman. Modul 2: berjumlah 16 rujukan terdiri dari 2 rujukan mengenai disain instruksional; 1 mengenai pengajaran;  4 mengenai Guru; 2 mengenai belajar.  ;Modul 3 terdiri dari 27 rujukan;. 2 berkaitan dengan Teknologi Instruksional; 3 berkaitan dengan psikologi perkembangan; 5 berhubungan dengan teori belajar, selebihnya berkaitan dengan psikologi, dan 1 berkaitan dengan Ilmu pengajaran  ; Modul 4: berjumlah 28 rujukan terdiri dari 3 berkaitan dengan pengajaran; 7 berhubungan dengan pembelajaran; 2 mengenai teknologi instruksional; 1 tentang Ilmu pendidikan  ; Modul 5: berjumlah 55 rujukan terdiri dari 32  rujukan berkatan dengan pembelajaran, dan 2 berkaitan dengan pengaaran, 7 berhubungan dengan Instruksional; Modul 6 :  berjumlah 21 rujukan.   20 berkaitan dengan assessment, penilaian, evaluasi, dan 1 mengenai disain isntruksional.

 

[22] Uraian bagian ini merujuk pada Gert Biesta, “Disciplines and theory in the academic study of education: a comparative analysis of the Anglo-American and Continental construction of the field”, Pedagogy, Culture & Society, 28 Juli 2011, hal. 175-192, https://doi.org/10.1080/14681366.2011.582255, diunduh 14 April 2016 jam 21.15

 

 

[23] Uraian lebih rinci lihat Biesta, “Disciplines and theory in the academic study of education:…”, hal. 177-183.

 

[24] Biesta, Ibid., hal. 182.

[25] Ibid., hal. 188.

[26] TIBBLE, J.W. (1971) “The development of the study of education,” in Tibble (ed), An Introduction To The Study Of Education, 1971, hal. 16, Lihat Biesta, Ibid., hal. 183. Lihat juga  Gary McCulloch, “Disciplines contributing to education? Educational studies and the disciplines”, hal. 13,  https://core.ac.uk/download/pdf/82655.pdf

 

[27] Uraian dengan rujukan Biesta, “Disciplines and theory in the academic study of education:…”, hal. 183-187.

 

[28] Biesta, Ibid., 184.

 

[29] Buchori, 1994, hal. 7.

 

[30] Biesta, op. cit,, hal. 187.

 

[31] Ibid., hal. 188.

 

[32] Gert Biesta, Julie Allan dan Richard Edwards, “Introduction. The theory question in education and the education question in theory” in Gert Biesta, Julie Allan dan Richard Edwards (eds.,)  Making a Fifference in Theory. The theory question in education and the education questionin theory, New York, Routledge, 2014, hal. 4.

[33] Gert Biesta, Julie Allan dan Richard Edwards

 

[34] Ibid.,  hal. 188.

 

[35] Ibid., hal. 188-189.

 

[36] Ibid., hal. 184 dan 189.

[37] Ibid., hal. 189-190

[38] Ki Hadjar Dewantara, Karja  Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962, hal. 14.

 

[39] Ibid., hal. 400.

 

[40] Lihat Biesta, Thinking philosphically about eduction; thinkig educationally about philosophy, in David Matheson,  An Introduction to the Study of Education, New York, Routledge, 2015, bab 4, hal.  64-82, khususnya hal. 73.

[41] Jacques Ardoino, in Anita Hocquard, éduquer à quoi bon. Ce qu’en disent philosophes, antropologues et pédagogues (Apa gunanya mendidik? Filosof, antropolog dan pedagog bicara fungsi pendidikan), Paris, Presses Universitaires de france, 1996, hal. 225-235, khususnya hal.

 

[42]  Buchori, op cit.,  hal. 7.

 

[43] Conny Semiawan, “Peta Keilmuaan Pendidikan”, Jakarta, 12 September 2005. Makalah setebal 16 halaman. Kami sendiri pernah mendiskusikan tulisan Ibu Conny Semiawan di ruang kantornya di Gedung Daksinapati, lantai 2. Sayang kami tidak mencatat tanggal diskusi tersebut. Tapi perkiraan waktu diskusi tersebut tidak jauh dari tanggal tulisan Ibu Conny tersebut. Konsep multireferensial  menurut  sepengetahun kami , bisa jadi baru Ibu Conny  Semaiawan yang menggunakannya di komunitas sarjana Pendidian Indonesia. Walaupun konsep itu telah digunakan oleh Jacques Ardoino di dekade 80-90, Lihat Jacques Ardoino, “ L’approche plurielle (multiréféréntielle) des situations et des patiques sociales  dans le champ des sciences de l’homme et de la société, Pratiques de formation-analyses, no. 25-26, Université Paris VIII, 1992. Ardoino membedakan apa yang disebut multireferensialitas (multiréféréntialité) dengan multidimensialitas (multidimensionalité). Yang terakhir berkaitan dengan berbagai dimensi dalam saau bidang. Sedangkan yang pertama, membahas dua rujukan atau lebih yang benar-benar berbeda tetapi dipakai untuk membaca, memahami satu fenomena kompleks. Sedangkan Conny Semiawan

 

[44] Conny Semiawan, op cit., hal. 3.

 

[45] lihat H.A.R. Tilaar, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002.ti

 

[46] H.A.R. Tilaar, Pedagogik Teoretis untuk Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2015. Sebanarnya 17 tahun yang lalu Tilaar telah menawarkan apayang disebut Pedagogik Transformatif,

 


News letter