Menelusuri Relasi Pedagogis Kitab Ta’limul Muta’allim

Kitab Ta’limul Muta’allimul (Pentingnya Adab Sebelum Ilmu) merupakan kitab wajib bagi murid-murid pesantren. Para santri yang ilmunya begitu dibutuhkan oleh masyarakat tentu tak mengingkari betapa pengamalan isi kitab tersebut menjadi kunci sukses mereka. Namun mereka yang tak mengerti isinya hanya memandang sebelah mata.

Kitab Ta’limul Muta’allim versi Terjemahan Bahasa Indonesia.

Abdullah Taruna,

Sejak penulis fokus mempelajari pedagogik (ilmu pendidikan), baik aliran Eropa Kontinental, maupun Anglo Saxon (Education), saya kemudian tertarik mendiskusikan kitab Ta’limul Muta’allim yang menjadi kitab wajib terutama bagi para santri yang baru belajar di pondok pesantren. Kitab berisi pentingnya para santri memiliki pengetahuan tentang adab terhadap guru, dan dalam menuntut ilmu, serta mengamalkannya itu, menjadi kunci utama para santri menuju sukses.

Di antara pengamalan dari adab dalam kitab itu adalah memuliakan guru atau kiai tempat santri menuntut ilmu. Contohnya, santri bertemu kiai, gurunya, maka biasanya mengucapkan salam, lalu mencium tangan, membawakan tas kiainya, dan bahkan menuntun hingga menggendong kiai yang sudah tidak kuat berjalan. Sikap takzim kepada kiai, guru seperti contoh tersebut, di lembaga pendidikan umum jarang sekali ditemukan. Tak sedikit orang yang memandang nilai-nilai yang belum dimengerti itu acapkali berkomentar miring:  santri kok “feodal”.

Persoalan-persoalan tersebut, beberapa tahun lalu sempat saya tanyakan kepada Pegiat Pendidikan Lody F. Paat. “Bersikap sopan, cium tangan kepada guru, membawakan tasnya, semua itu sikap yang baik, dan bukan perilkau feodal,” kata Lody F. Paat, yang merupakan murid Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. 

Bahkan Lody F. Paat menceritakan pengalaman dirinya, dalam mendapatkan ilmu pengetahuan itu, ia pun tidak segan-segan menghubungi dosen-dosennya yang akan bicara di sebuah forum diskusi besar. Ia berharap bisa berangkat bersama, membantu semua proses di lokasi, dan mendengarkan bagaimana pemikiran dosennya saat menjadi pembicara, dan bagaimana cara dosennya berbicara di depan publik.

Jimmy Philip Paat, D.E.A

Kepada Dosen Bahasa Perancis Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Philip Paat, penulis meminta waktu khusus kepada beliau untuk melakukan bedah ringan Kitab Ta’limul Muta’allim (Pentingnya Adab sebelum Ilmu), karya Syeikh Ibrahim bin Isma’il Al Zarnuji. Ulama asal Zaradj Afganistan tersebut wafat antara versi pertama: 591 Hijriah/ 1195 Masehi dan versi kedua: 840 Hijriah/1243 Masehi. Jadi kitab yang disusun oleh Imam al –Zarnuji sudah berusia 7 abad lebih, namun nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya tak luntur oleh perubahan zaman.

“Bung Abdullah, buku yang dipinjamkan ke saya, judulnya saja sudah menarik  Ta’limul Muta’allim “Pentingnya Adab sebelum Ilmu, ” ungkap Koordinator Tim Ahli Pedagogik Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ Jimmy Philip Paat.

Di bab atau pasal tentang defenisi ilmu,  fikih dan keutamaannya” Jimmy menemukan pernyataan yang menarik.  “… setiap muslim dan muslimah tidak berkewajiban mempelajari semua ilmu, tetapi berkewajiban mempelajari ilmu yang ia butuhkan saat itu…” Lebih lanjut dikemukakan “…ilmu yang utama adalah ilmu yang dibutuhkan saat itu…,” kata Jimmy Philip Paat tentang isi yang ada di halaman 38.

Lebih lanjut, Jimmy menggaris bawahi tentang pilihan bidang keilmuan. “Pernyataan “tidak berkewajiban mempelajari semua ilmu” bagi saya ini berarti pelajar atau mahasiswa  harus memilih dari sekian yang ada atau yang ditawarkan sekolah, kemudian pilihannya harus menjadi yang dia butuhkan,” ujar  Jimmy menafsirkan hak peserta didik dalam mengaji ilmu di sekolah maupun perguruan tinggi.

Kalau saja para kaum pelajar (mahasiswa) datang ke sekolah maupun ke universitas, kata Jimmy, dengan niat (tujuan) untuk studi ilmu yang dibutuhkan baik oleh dirinya dan juga untuk banyak orang tentu potensi capaian dalam belajarnya akan lebih optimal.

“Saya merasakan banyak mahasiswa ke kampus kita, terasa mereka tidak melihat, bahwa belajar ilmu ya yang dibutuhkan oleh dirinya, dan untuk banyak orang (untuk amal),” ungkap Jimmy.

Pada bab atau pasal tentang Niat (Ketika Belajar), Jimmy mengutip kalimat pertama pada pasal itu,  “Seorang muslim wajib memiliki niat ketika belajar, karena niat merupakan dasar  dari semua perbuatan… ” kutip Jimmy Philip Paat di halaman 47.

Berkaitan dengan pentingnya niat dalam mengawali proses belajar, Jimmy kemudian menghubungkan dengan para pelajar di sekolah dan para mahasiswa di perguruan tinggi. “Saya tidak tahu apakah para pelajar, mahasiswi-a kita ketika masuk sekolah atau kelas sudah dengan niat studi sebaik-baiknya (yang terwujud dalam dialog dengan guru, dan dengan kawan yang sudah lebih paham) ? ungkapnya dengan penuh pertanyaan.

Jimmy Philip Paat sedang menyerahkan Cinderamata kepada Prof. Dr. Sutjipto.

Jimmy sepaham bila niat belajar itu sangat penting. ‘Bagi saya ada kaitannya dengan pernyataan  di halaman 49, “Seorang pelajar hendaknya berniat  mensyukuri nikmat akal, kesehatan badan…”.  Bagi saya menyukuri nikmat akal itu berwujud dialog dengan guru agar sampai pada pemahaman yang “setepatnya” atas apa yang dipelajari,” kata Jimmy.

Pada halaman 53, masih pada bab tersebut, kata Jimmy, pelajar diminta untuk tidak merendahkan ilmu dan ahlinya. “Bagi saya sikap tidak merendahkan ilmu terlihat atas ketekunan mempelajari ilmu, dan tidak merendahkan ahlinya (gurunya) bagi saya terlihat pada ketekunanya berdialog dengan sang guru,” kata Jimmy.

Memilih Guru

Jimmy melanjutkan pada halaman 56. Di dalamnya dibahas tentang bagaimana memilih guru. “Murid-mahasiswi/a sebaiknya memilih yang paling berilmu. Dalam konteks sekarang, pelajar dan mahasiswi/a harus cerdas mencari kriteria dengan jalan berselancar di dunia maya dan bertanya pada orang lain untuk membuat kriteria guru yang paling berilmu di sekitarnya,” kata Jimmy, tentang kriteria lain selain kriteria murah hati, penyabar, seperti disebut pada halaman 57.

Karena kitab ini memberi petunjuk, bahwa memilih guru adalah penting, kata Jimmy, maka para siswi/a, dan mahasiswi/a tidak boleh terburu-buru. Sebaliknya perlu dipikirkan sematang mungkin (hal. 61).  

“Sepemahaman saya dari membaca buku (kitab: Red.) ini, ketika kita telah memilih guru sebaiknya tidak ditinggalkan begitu cepat. Karena belajar seperti itu tidak  baik atau pakai ungkapan buku ini “belajarnya tidak mendapat berkah,” kata Jimmy Philip Paat.

Satu hal yang sangat-sangat menarik dari bab ini, lanjut Jimmy,  penuntut ilmu diharuskan untuk betah dan sabar terhadap guru dan dalam mempelajari kitab. “Saya melihat pada para sarjana hebat terasa sekali mereka sabar dan tekun tidak saja pada gurunya, saat menjadi mahasiswi/a tetapi mereka sangat sabar, tekun berdialog dengan ilmu yang dipelajari,” kata Jimmy Philip Paat

Lody F. Paat saat duduk bersama dengan Prof. Dr. Bedjo Sujanto, dan Jimmy Philip Paat.

Jimmy Philip Paat menjelaskan, bahwa “betah dan sabar terhadap guru” ini sangat penting dalam relasi antara guru dan murid.  “Kebetahan dan sabar ini sesungguhnya perlu dipupuk oleh murid. Hal ini perlu digaungkan di dunia persekolahan kita. Karena begitu kuat pandangan yang tersebar bahwa guru harus lebih sabar terhadap anak,” ungkap peraih dua gelar master dari Sorbonne University, Paris, Perancis.

Kategori Pedagogikkah Ta’limul Muta’allim?

Bila dicermati isi Kitab Ta’limul Muta’allim lebih banyak berisi kewajiban murid kepada guru, bukan bagaimana guru seharusnya mengajar murid, apakah bisa dikategorikan kitab pedagogik (kitab tentang ilmu mendidik?)

Jimmy yang sudah melakukan bedah ringan atas isi kitab tersebut, mengutip teori Le triangle pédagogique dari Jean Houssaye (segitiga pedagogic/ relasi pedagogis), Jimmy menyebut Kitab Ta’limul Muta’allim termasuk kategori pedagogik. “Kalau kita merujuk Jean Houssaye yang menggambarkan situasi pedagogik dengan tiga kutub: 1) Pengetahuan (ilmu); 2) Guru; 3) Murid, maka saya untuk sementara buku ini terasa ada gambaran situasi pedagogik yang disampaikan Houssaye. Relasi guru dan murid tampak pada murid harus betah terhadap guru (tentu kebetahan murid ini membuat guru pun betah). Konsep betah ini menarik,” ungkap Jimmy Philip Paat.

Jimmy kembali mengingatkan, bahwa selain hubungan guru dengan murid, kitab ta’limul muta’allim telah menggambarkan bagaimana hubungan murid dengan ilmu: murid harus tekun dan betah terhadap ilmu; dan harus memilih yang sesuai, dan dapat diamalkan,” kata Jimmy menegaskan gambaran relasi segitiga pedagogis.

Bersambung ke pembahasan relasi ketiga, yaitu: (Relasi Guru dengan Ilmu Pengetahuan).

News letter