Langkah Kecil Mengatasi Paradoks Pengelolaan Pendidikan Nasional
Para praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan, dan semua
pihak tidak seharusnya berpangku tangan.
Abdullah Taruna
Ketidaksungguhan
dalam memberlakukan standardisasi pendidikan dengan seluruh aspeknya; dan
terjadinya pergeseran arah kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan
dari semula berdasarkan pendekatan teknis profesional menjadi berdasarkan
kepentingan politik praktis, pencitraan dan uji coba selama satu dekade
terakhir diindikasikan sebagai sumber persoalan yang memicu empat kecenderungan
yang saling bertentangan dalam pengelolaan pendidikan nasional.
Kedua induk masalah dalam pengelolaan pendidikan nasional
tersebut dipaparkan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Jakarta, Prof. Dr. Hafid Abbas dalam artikel berjudul “Rapor Merah Pendidikan”
yang dimuat Harian Kompas, Kamis, 20 Februari 2020.
“Sungguh mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir
terlihat tanda-tanda yang berbahaya bagi masa depan peradaban negeri ini, yakni
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dalam pengelolaan
pendidikan nasional,” kata Hafid Abbas.
Terkait artikel tersebut, Jimmy Philip Paat memberikan
pendapat yang sangat positif. “Pak Hafid mencoba mengingatkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, “bahwa sekolah-sekolah kita masih
jauh di bawah mutu standar minimal. Khususnya bangunan yang tidak layak,” kata
Koordinator Tim Ahli Forum Diskusi Pedagogik Ikatan Alumni Universitas Negeri
Jakarta (IKA UNJ).
Untuk induk masalah kedua, yaitu pergeseran arah kebijakan
pengelolaan pendidikan dari teknis profesional menjadi berdasarkan politik
praktis, pencitraan dan uji coba, kata Jimmy, para pemerhati dan pegiat
pendidikan bisa turut berpartisipasi untuk memecahkan persoalan tersebut. “Saya
kira hanya bisa dipecahkan (salah satunya) melalui pendidikan guru kritis. Kami
(Jimmy Ph Paat, Ade Irawan dan tim: Red.) mencoba kecil-kecilan menjalankan ini,”
ujar Jimmy.
Contoh guru yang "dipinggirkan" karena tidak
sejalan secara politik, lanjut Jimmy, sebenarnya banyak terjadi. “Untuk
"memperkecil" hal semacam ini kami menyarankan para guru berjejaring.
Guru di Banten misalnya membuat KGB (Koalis Guru Banten), para guru juga masuk
ke Banten Bersih. Di Pandeglang, para guru membuat Nalar (yang anggotanya guru
dan aktivis),” ungkap Jimmy menjelaskan partisipasi para pegiat pendidikan
dalam isu induk yang diindikasikan telah memicu kemunculan empat kecenderungan
yang saling bertentangan dalam pengelolaan pendidikan nasional.
Keempat hal itu di antaranya: 1. Anggaran pendidikan semakin
besar, namun kualitas pendidikan semakin merosot, 2. Kualitas Pendidikan
Indonesia terendah di ASEAN, dan terburuk di dunia, 3. Peningkatan anggaran
sertifikasi guru, namun belum juga berdampak pada peningkatan kualitas
pendidikan nasional, 4. Politisasi tenaga kependidikan karena dominasi politik
partai.
Di antara pernyataan – pernyataan Prof. Dr. Hafid Abbas
dalam “Rapor Merah Pendidikan” :
Kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dalam pengelolaan
pendidikan nasional:
1.
Paradoks kecenderungan
semakin besarnya anggaran pendidikan nasional di satu sisi dan semakin
merosotnya kualitas peanadidikan nasinal di sisi lain. Sebagai contoh APBN 2018
alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 444 triliun, dan pada 2020 angkat
tersebut meningkat menjadi Rp 508 triliun. Di sisi lain ranking PISA Indonesia
turun dari 65 pada 2015 menjadi 72 pada2018, di antara 77 negara karena skor
kemampuan membaca, sains anak-anak Indonesia yang terus menurun.
2.
Bank Dunia melaporkan
kualitas pendidikan Indonesia terendah di ASEAN, 55 persen anak –anak umur 15
tahun secara fungsional masih buta huruf, dibandingkan Vietnam yang hanya 10
persen. Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan firma pendidikan
pearson (2012) sistem pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia, dan yang
paling baik Finlandia dan Korea Selatan.
3.
Kedua, paradox anggaran
sertifikasi guru yang terus meningkat, tetapi dampaknya pada peningkatan mutu
pendidikan nasional ternyata belum terlihat. Pada APBN 2017, sebagai contoh, anggarannya mencapai Rp
75,2 triliun, dan pada tahun berikutnya naik ke angka Rp 79,6 triliun. Namun,
publikasi Bank Dunia , “Spending More Or Spending Better: Improving Education
Financing in Indonesia” (2013),
menunjukkan tidak terdapat dampak program sertifikasi guru terhadap
peningkatan mutu pendidikan. Yang berubah adalah perbaikan kesejahteraan guru
yang ditandai dengan menurunnya jumlah guru yang kerja rangkap secara drastis
dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah sertifikasi.
4.
Ketiga adalah paradoks
pengangkatan sekitar 100 ribu guru
setiap tahun, tetapi jumlah guru sudah amat surplus menurut standar
Internasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan
menengah dengan 4 juta guru (Kemdikbud, 20/12/2019), berarti setiap guru hanya
mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional sebanyak 20-21
siswa per guru. Jepang rasionya 27-28 siswa per guru (UNESCO 2017). Dengan
menggunakan standar internasional. Indonesia kelihatannya sudah kelebihan
sekitar 1,6 juta guru.