Ki Hadjar Dewantara Bersama Pemikiran Pendidikan Kontemporer

Ki Hadjar Dewantara Bersama Pemikiran Pendidikan Kontemporer[1]

Jimmy Ph. Paät[2]

Pengantar

                Hanya saja dalam diskusi ini mendampingkan KHD dengan dua sarjana pendidikan Barat ini merupakan pendampingan antara pemikir pendidikan yang tidak dalam tataran waktu dan ruang yang sama. KHD adalah seorang pemikir pendidikan utama Indonesia yang hidup di antara kurun waktu akhir abad ke 19 hingga tengah abad ke 20 sedangkan dua sarjana pendidikan Barat (Gert Biesta-Belanda, Jacques Rancière-Perancis) hidap dalam era sekarang. Penyandingan ini menurut saya memiliki paling tidak dua makna atau tujuan. Pertama, agar pendidik dan calon pendidik (terutama yang berada di sini sebagai peserta diskusi ini) memahami pemikiran KHD dalam konteks kekinian. Ini penting karena tidak jarang ada, berangkat dari percakapan-percakapan saya kususnya dengan para mahasiswi-a UNJ, semacam keengganan membicarakan, mendiskusikan, mengkaji kembali pemikiran pendidikan KHD. Mengapa? Mereka memperoleh pernyataan-pernyataan yang isinya kira-kira berbunyi, “pemikiran pendidikan KHD itu telah usang”. Tentu saja itu merupakan pandangan yang keliru dan telah ditentang di antaranya oleh H.A.R. Tilaar melalui bukunya yang berjudul Sowing The Seed of Fredom. Ki Hadjar Dewantara as A Pioneer of Critical Pedagogy[3]. Kedua, karena sepengamatan saya di kampus ini masih jarang hadir diskusi yang “membandingkan” tokoh pendidikan Indonesia dan Barat, diskusi ini merupakan ajakan untuk masuk ke dunia pikir (pemikir) pendidikan kontemporer  lainnya. Dengan demikian dunia pendidikan kita baik secara teoritis maupun praktis akan lebih “berwarna”, lebih dinamis, alias bergerak lebih cepat dan bermakna. Mudah-mudahan, penyandingan ini tidak terlalu berlebihan, atau dilihat sebagai mengada-ada.

         Untuk itu diskusi ini saya bagi menjadi dua bagian besar. Pertama, membahas pemikiran pendidikan KHD. Kedua, mendiskusikan karakteristik yang sama dan umum dari tiga teoritis pendidikan Barat: Biesta, Rancière, dan Ford.

 Pemikiran Pendidikan KHD

     Paling tidak tahun lalu ada dua hal menarik berkaitan dengan KHD. Pertama diskusi pemikiran pendidikan KHD yang digagas Jaringan Pendidikan Alternatif pada minggu kedua Maret 2018[4], dan kedua, diterbitkan buku yang berjudul Ki Hadjar Dewantra. Pemikiran dan Perjuangannya, diedit Prof. Dr. Djoko Marihandonosaya[5]. Tentu saja dua peristiwa-kegiatan tersebut hanya sedikit dari sekian pembahasan mengenai pemikiran pendidikan KHD yang relatif dekat dengan waktu kita sekarang. Dengan kata lain saya mau mengatakan sudah begitu banyak orang yang mendiskusikan pemikiran pendidikan KHD. Inilah yang bagi saya tidak mudah mendiskusikan suatu pemikiran yang tidak jarang dibahas. Besar kemungkinan apa yang akan saya utarakan dalam diskusi ini merupakan suatu pengulangan. Untuk itu saya mohon maaf. Tetapi saya berusaha agar diskusi kita ini sekalipun pengulangan, tetap dapat menjadi titik berangkat peserta diskusi ini untuk menjelajahi pemikiran Tokoh Nasional, Tokoh Kemerdekaan, Tokoh Pendidikan Nasional, untuk mengikuti penamaan dari Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama[6].

 

Tetapi anehnya, sekalipun sudah dikategori Tokoh Pendidikan Nasional oleh sang Pendiri bangsa, Soekarno, jika boleh menyebut seperti itu, sepengamatan saya, pemikiran pendidikan KHD ini jarang dibicarakan baik di ruang kuliah maupun dalam pertemuan akademik di lembaga yang disebut LPTK  (UNJ) tempat saya berkegiatan pedagogis selama 37 tahun. Seandainya hadir pembahasan itu, sulit untuk dikatakan sebagai pembahasan serius, dan mendalam. Mungkin ini salah satu penyebab para calon guru dan juga guru kita ini nirberpikiran pendidikan KHD, atau tidak mengenal dengan baik pandangan pendidikan KHD. Gambaran ini kembali saya kemukakan untuk menjadi tambahan alasan, yang sudah saya sebut di atas, pentingnya mendiskusikan pemikiran pendidikan KHD.

         Dalam diskusi ini saya akan menawarkan beberapa pokok pikiran penting KHD, yang menurut pemahaman saya sangat diperlukan, untuk melihatnya lebih dalam.  Buku Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama : Pendidikan[7] menjadi rujukan penting dan utama bagi saya dalam diskusi ini. Dari buku inilah saya mengajak teman-teman untuk mendiskusikan apa yang dimaksud dengan pendidikan yang me)merdeka(kan menurut KHD[8];  kerja kultural[9]; ilmu pendidikan[10]; apa itu anak (hal. 241-298); politik pendidikan (hal. 3-237), termasuk di dalamnya, pendidikan taman siswa (hal. 13-14; 20-29). 

Riwayat Singkat Ki Hadjar Dewantara

Pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta lahir seorang pria yang bernama RM Soewardi Soerjaninggrat, putra GPH Soerjaningrat[11]. Dengan demikian Soewardi Soerjaningrat yang cucu Sri Paku Alam III bukan sembarang bangsawan. Nama lain yang menarik diperhatikan adalah Trunogati, nama yang diberikan Kyai Soleman, seorang santri sahabat dari K.P.A Suryaningrat, sang ayah. Trunogati berasal dari dua kata yaitu Truno = pemuda dan gati, wigati = penting, berarti. Ternyata  nama pemberian sang Kyai Soleman tidak keliru. 

         Pendidikan dasar berbahasa Belanda, ELS (Europeesche Lagere School, sekolah Dasar Belanda 7 tahun) ditempuh sang tokoh ini di kampong Bintaran Yogyakarta. Setelah menyelesaikan SD (1904), Soewardi Suryaningrat melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Sekolah Guru tidak dilanjutkan karena ada tawaran dari dr Wahidin Sudiro Husodo masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen), Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Pendidikan calon dokter diikuti selama 5 tahun (1905-1910), artinya tidak diselesaikan karena tidak naik kelas sehingga beasiswanya dihentikan. Alasan dihentikan kemungkinan disebabkan dua hal, yaitu tidak mengikuti kuliah selama 4 bulan karena sakit atau karena Suwardi Suryaningrat mendeklamasikan sajak karya Multatuli mengenai keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo. Menurut direktur STOVIA sajak ayau pembacaan sajak itu  sebagai kegiatan pembangkitan semangat memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jadi ada alasan politik pemberhentian beasiswanya[12]. Sifat melawan[13], memberontak yang merupakan ciri khas KHD sebagai guru yang memerdekakan manusia terasa sekali. Sifat ini tidak bisa tidak harus menjadi sifat para guru dalam konteks sekarang yang suka atau tidak, sependapat atau tidak, penindasan ada di mana-mana. “

     Setelah tidak lagi sekolah di STOVIA, dia menjadi jurnalis. Salah satu karyanya sebagai jurnalis yang dianggap puncak karir Suwardi Suryaningrat sebagai jurnalis pejuang adalah Als ik eens Nederlander was (Andai aku seorang Belanda, Juli 1913). Tulisan yang juga sekaligus menunjukkan tidak saja kemampuan Bahasa Belanda yang hebat tetapi kecanggihan penguasaan Bahasa Belandanya. Tulisan yang berisi kiritik atau sindiran yang sangat tajam  terhadap Pemerintah Hindai Belanda.

     Tulisan-tulisan yang sangat kritis menyebabkan Suwardi Suryaningrat (bersama dr Cipto Mangunkusumo dam Dr. E.F.E Douwes Dekker, disebut juga tiga serangkai) dibuang ke Bangka, Cipto Mangunkusumo dibuang ke Banda Neira, dan Douwes dekker ke Timor Kupang. Tetapi atas  kesempatan mereka bertiga meminta dibuang ke Nederland, dan permintaan mereka disetujui.

         Selama di pembuangan, di Nederland, Suwardi Suryaningrat belajar Ilmu Pendidikan  yang diberikan kursus-kursus tertulis dan kursus-kursus malam. Hasil dari Kurusu itu, dia memperoleh Akte Guru Eropa dalam pendidikan Pedagogie pada 12 Juni1915. Sedangkan istrinya R.A. Sutartinah mengajar di Frobel School, yaitu Taman Kanak-Kanak di Weimaar, Den Haag.

     Pembuangan ke Belanda mengantar Suwardi Suryaningrat berkenalan erat dengan pemikiran pendidikan yang menjadi perhatian komunitas pendidikan masa itu seperti Montesori, Frobel.

     Sekembalinya ke Indonesia, satu atau dua tahun setelah menginjak kembali tanah Indonesia, Suwardi Suryaningrat  Senin Kliwon, 3 Juli 1922 dkk mendirikan national Onderwijs Instituut Taman Siswa di Jl. Tanjung Pakualaman, Yogyakarta. Pertama-tama yang didirikan Taman Siswa adalah Taman Kanak-Kanak. Dua tahun kemudian dari berdirinya Taman Siswa, Mulo Kweekschool (setingta SMPdengan pendidikan guru 4 tahun) didirikan pada 7 Juli 1924. Pada tahun 1928 tamatan Mulo Kweekschool Taman Siswa dapat diterima AMS (Algemene Middlebare School)  setingkat SMA Negeri hamoir 70%. Keberhasilan ini menunjukkan  bahwa pendidikan di Taman Siswa berkualitas.     

     Pada 3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat berusia 40 tahun, dan pada saat itu dia berganti nama Ki Hadjar Dewantara yang terdiri dari  Hadjar = pendidikan; Dewan = Utusan, tara = tak tertandingi. Dengan demikian  makna Ki Hadjar Dewantara adalah bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.

  Pendidikan yang memerdekakan

 Hampir semua pembahas pemikiran pendidikan KHD selalu mengutarakan bahwa ide pendidikan KHD adalah pendidikan yang memerdekakan. Saya pun dalam diskusi ini tidak beda  dengan para pembahas KHD lainnya. Artinya saya akan membahas hal tersebut, pendidikan yang memerdekakan menurut KHD. Acuan saya untuk membahas ide pendidikan yang memerdekakan ini adalah Buku yang berjudul Karya Ki Hadjar Dewantara[14].  Bagian pertama: Pendidikan. Buku yang merupakan kumpulan tulisan Ki Hadjar Dewantara dari tahun tahun 20-an hingga 50-an )KHD meninggal 26 April 1959 di Yogyakarta).

     Jika kita membaca buku acuan itu, kita akan menemukan beberapa kali uraian pendidikan yang memerdekakan atau konsep manusia yang merdeka. Pada halaman 3 saja, jadi pada makalah pertama buku tersebut, kita sudah membaca pembahasan konsep pendidikan yang memerdekakan atau konsep manusia yang merdeka. Tepatnya pada teks yang berjudul Pendidikan dan Pengadjaran Nasional yang dibacakan pada Kongres Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesai ke-1 pada 31 Agustus 1928 kita membaca uraian konsep pendidikan merdeka dan konnsep manusai merdeka. Mari kita baca bersama kutipan di bawah ini :

             Manusia merdeka jaitu manusia jang hidupnya lahir atau batin  tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas      kekuatan sendiri.[15]

[1] Bahan diskusi di Forum Diskusi Pedagogigik, Ikatan Alumni Universitas Jakarta, 21 Agustus 2019, Jam 15 sd 18 di Kampus UNJ. Sebagai bahan diskusi, teks ini belum diedit sehingga hanya bermakna di saat diskusi. Dengan kata lain teks ini tidak untuk disebarluaskan alias hanya untuk peserta diskusi.

[2] Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Perancis, Universitas Negeri Jakarta; Pegiat di Sekolah Tanpa Batas; Fasilitator di Akademi Anti Korupsi, ICW

[3] Lihat catatan kaki no 3.

[4] Kegiatan ini (rekaman video) dapat dilihat di FB Jaringan pendidikan Alternatif, 14 Maret 2018. Iwan sebagai pemantik diskusi mengenai pemikiran pendidikan KHD.

[5] Lihat Prof. Dr. Djoko Marihandono (editor), Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran dan Perjuangannya, diterbitkan  Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian pendidikan dan Kebudayaan, 2018, kususnya bagian 2, Prinsip pendidikan Taman Siswo Pada Awal pendiriannya

[6] Lihat Kata sambutan Soekarno dalam Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Jogjakarta, 1962, hal. XXI.

[7] Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara, Ibid.

[8] Ibid., kususnya hal. 3-5; 25; 399-403.

[9] Ibid., kususnya hal. 314-346.

[10] Ibid., kususnya hal. 27-29; 433-439.

[11] Uraian singkat Biografi KHD ini merujuk ke Djoko Marihandono (ed.), Ibid., hal, 146-181.

[12] Lihat Djoko Marihandono, Ibid.,  hal. 149

[13] Konsepmelawan” di saat sekarang  dikenal dengan baik di dunia para aktivis pendidikan. Sayangnya itu konsep tersebut bisa dikatakan asing di dunia guru. Bambang Wisudo, aktivis pendidikan, mantan wartawan pendidikan mengungkapkan dengan baik konsep melawan, yaitu sebagai bahan bakar memerdekakan.

[14] Op.cit. hal. 3-5;

[15] Ibid., hal. 3.

News letter