Juri Ardiantoro: UNJ Kehilangan Pendidik dan Tokoh Pendidikan Nasional Yang Penuh Keteladanan

Ketua Umum  dan Sekjend Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) Juri Ardiantoro, Ph.D., dan Dr. Suherman Saji, M.Pd., mewakili Keluarga Besar IKIP Jakarta/UNJ menyampaikan dukacita mendalam atas wafatnya Prof. Dr. Conny Semiawan pada 1 Juli 2021. Tokoh Pendidikan kelahiran 6 November 1930  di Ngawi, Jawa Timur ini berpulang saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Siloam Mampang.

“Kita kehilangan pendidik dan tokoh pendidikan nasional yang penuh keteladanan. Beliau tidak pernah berhenti memikirkan masa depan pendidikan Indonesia. Selamat Jalan Ibu Conny,"  ungkap Juri Ardiantoro. 

Menurut Juri Ardiantoro, sekitar 2 tahun lalu, tepatnya pada Oktober 2019, Ibu Conny menghadiri undangan Forum Diskusi Pedagogik (FDP) IKA UNJ yang membahas topik “Revitalisasi Pedagogik Untuk Menjadikan UNJ LPTK Terdepan”. “Saat menyampaikan pemikirannya, beliau juga menyiapkan paper/slide, tidak hanya sekedar hadir dan bicara. Bahkan pemaparan gagasan pemikirannya pun masih sangat jelas kepada para dosen, dan mahasiswi-mahasiswa,” ungkap Juri.

Sebagai tokoh pendidikan dan pendidik, tambah Juri, Conny Semiawan memberikan contoh, bahwa usia tidak menjadi alasan kehilangan kecakapan dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. 

“Saya nanti akan membawa konsep orang Jerman, agak beda banget, untuk nanti kita memilih what could, apa yang bisa kita lakukan untuk menjadikan revitalisasi ilmu pendidikan. Jadi yang kontinental itu  (pedagogik kontinental: Red.) sebagaimana digambarkan oleh Pak Jimmy (pembicara pertama) dengan baik sekali, masih belum ajeg. Saya jangan diharapkan untuk memberikan solusi kepada anda. Kita berdiskusi, saya akan mengajak anda, untuk melihat masalahnya, dan kita bersama-sama menentukan masalahnya, cara memperbaiki dan menghadapinya seperti apa, itu saran saja dari seseorang yang sudah, maaf saya katakan,  sudah mau sekarat. Kalau kata Pak Tilaar, sudah mau game itu Bu Conny. Ya sudahlah apa boleh buat. Tapi saya tetap akan berbicara sebelum game,” kata Bu Conny yang membuat hadirin tertawa kecil.

Juri Ardiantoro mengajak para guru dan pendidik lulusan IKIP Jakarta, dan UNJ untuk mengikuti keteladanan Rektor IKIP Jakarta Periode 1984-1992 di dalam bidang pendidikan. Tidak pernah berhenti belajar, dan tidak pernah berhenti untuk terus berpikir dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Generasi sebelum kita, lanjut Juri, adalah anak-anak sekolah yang merasakan pelaksanaan konsep kurikulum CBSA pada 1984. 

“Kurikulum dengan pendekatan yang menempatkan siswi-siswa sebagai subyek dalam proses pembelajaran secara aktif dan gembira. Konsep tersebut merupakan hasil desain   brilian Conny R. Semiawan, namun karena guru belum mampu menerjemahkan dalam proses belajar dan mengajar, maka output lulusannya tidak sesuai harapan,” kata Ketum IKA UNJ, Juri Ardiantoro.

Minat besar Conny R. Semiawan dalam mendalami Neuro Science, dan mengaplikasikannya dalam mendidik anak-anak Indonesia menjadi harapan Juri Ardiantoro agar ada yang mendalami secara serius pula dari kalangan alumni UNJ.

Saat bicara di FDP IKA UNJ pada Oktober 2019, Conny menegaskan tentang ketertarikannya dalam mendalami neuroscience. “Saya lebih banyak meneliti tentang otak. Apa yang dapat dihasilkan oleh otak. Ternyata bangsa Indonesia itu pinter orang-orangnya. Tapi yang dipakai dari neouron – neuron yang dibawa lahir itu hanya 5 % , 5% dari 200-an miliar sel-sel otak yang kita miliki.  Yang lainnya, kalau nggak pingsan, ya mampus neuron-neuron,” kata Conny Semiawan seraya berkelakar, yang membuat para hadirin tertawa.

Conny mengajak para peserta diskusi berpikir tentang cara mengaktifkan sel-sel otak untuk meningkatkan kecerdasan para murid. “Masa kita biarkan neuron-neuron kita mampus. Masa kita biarkan anak-anak kita yang berbakat, yang semuanya anak-anak itu sebenarnya pinter, asalkan kita menemukan potensinya. Dan untuk menemukan potensi anak,  itu yang dilakukan oleh labschool,” ungkap Conny Semiawan.

Menurut Conny Semiawan, dahulu Labschool IKIP Jakarta pernah mengadakan kelas ekselerasi untuk anak-anak berbakat sehingga sekolah di SMA tidak perlu dua tahun. “Dulu waktu masih ada kelas ekselerasi. Kelas akselerasi itu kemudian dihapus oleh Pemerintah, karena kelas-kelas harus inklusif, harus campur aduk dengan anak-anak yang tidak pinter. Dan saya kira guru kita harus pinter juga mengajar berbagai jenis anak, yang pinter, yang nggak pinter, yang bodoh, yang setengah pinter, semuanya harus mendapat  porsi dengan sebenarnya. Ini yang kita inginkan,” ungkap Conny Semiawan. 

Masih pada topik diskusi tersebut, Conny Semiawan menjelaskan cara lain mengembangkan sel-sel otak untuk mengembangkan kecerdasan anak-anak sekolah, yaitu dengan menerapkan COS (Creative Open System).

Selain menyampaikan dukacita atas berpulangnya Prof. Dr. Conny Semiawan. Ketua Umum dan Sekjend IKA UNJ Juri Ardiantoro, Ph.D., dan Dr. Suherman Saji, M.Pd., juga mengucapkan  belasungkawa atas wafatnya anak dan menantu Prof. Dr. A. Suhaenah Suparno, Rektor IKIP Jakarta 1992-1997. “Kami mewakili seluruh pengurus IKA UNJ dan Alumni IKIP Jakarta/UNJ menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya anak dan menantu Prof. Dr. A. Suhaenah Suparno. Semoga almarhumah dan almarhum husnul khotimah dan mendapat tempat termulia di sisi Allah SWT, serta Prof. Anna beserta keluarga diberikan kesabaran dan keihlasan,” kata Juri Ardiantoro.


News letter