Juri Ardiantoro: Indonesia Membutuhkan Desain Baru Pendidikan Guru

Abdullah Taruna,

Pernyataan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta tersebut disampaikan menyusul akan diselenggarakannya Diskusi Reboan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ pada Rabu, 24 Februari 2021.

“Indonesia Membutuhkan Desain Baru Pendidikan Guru yang tanggap perkembangan teknologi digital,” kata Juri Ardiantoro, S.Pd., M.Si., Ph.D.

Hingga Edisi Reboan, 24 Februari 2021, Forum Diskusi Pedagogik Ikatan Alumni UNJ telah beberapa kali mengangkat tema tentang historisitas pendidikan guru, baik terkait langsung dengan guru, maupun secara tidak langsung dengan pendidikan guru. Hal itu mula pertama dilakukan pada Rabu, 27 Februari 2019, dan 27 Maret 2019, FDP IKA UNJ mengangkat tema: “Historisitas IKIP Menjadi Universitas I & II. Kemudian masih pada tahun yang sama, pada bulan Oktober 2019, Reboan FDP IKA UNJ juga membahas topik “Revitalisasi Pedagogik Untuk Menjadikan UNJ LPTK Terdepan”. 

Topik-topik terkait guru tersebut berlanjut pada Reboan 2020: “Mengenali Sumber Persoalan Bottleneck Pendidikan Nasional Untuk Melempangkan Jalan Napas Pendidikan Indonesia I”, kemudian pada bagian kedua: “Mengenali Sumber Persoalan Bottleneck Pendidikan Nasional Untuk Melempangkan Jalan Napas Pendidikan Indonesia: Perspektif Ekonomi dan Kebijakan Pendidikan”. Kemudian FDP IKA UNJ mengangkat tema “Sejarah Pendidikan Sejarah”, dan bulan Desember tahun lalu mengulas masalah “Sejarah Pendidikan Guru dari PTPG Hingga IKIP Menjadi Universitas”.

Hasil-hasil dari beberapa kali Diskusi Reboan Pedagogik selama dua tahun sebelumnya itu menunjukkan: Pertama, bagaimana besarnya dominasi birokrasi terhadap tata kelola pendidikan sehingga menyulitkan langkah-langkah pengembangan pendidikan para calon guru baik berdasarkan pendekatan pedagogik teoritis, maupun pedagogik praktis. Kedua, desain kebijakan dasar IKIP tidak untuk menghasilkan guru yang ilmuwan (kebijakan pas bandrol). Ketiga, telah terjadi entropi pada tata kelola pendidikan nasional yang bersumber dari tata kelola politik anggaran pendidikan sehingga terjadi pemborosan di banyak pos-pos anggaran, dan mengakibatkan pendistribusian amanat anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN tersebut tidak sesuai harapan. Kemudian keempat, hasil diskusi Reboan FDP IKA UNJ menyebutkan terjadinya pertarungan pendidikan sebagai ilmu yang berbasis teori pedagogik Eropa Kontinental  Langeveldian, dengan konsep education (pendidikan Amerika Serikat), khususnya berbasis psikologi pendidikan Edward L. Thorndike.[1]

Hal itu tidak bisa dilepaskan dari beberapa program pendidikan dalam bentuk studi banding para dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada 1956. Mereka yang melakukan studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan guru AS  adalah Dekan PTPG Bandung Jawa Barat, Malang Jawa Timur, dan  Tondano Sulawesi Utara. Bahkan pada 1957, Dekan SUNYB School of Education mengunjungi PTPG Jakarta, Bandung, Malang, Batusangkar, Tondano, Yogyakarta. Program kerja sama tersebut berlanjut dalam rentang waktu 1956-1961 dengan penugasan pendidikan para dosen muda PTPG/FKIP untuk studi di Amerika (SUNY- A-B, New Paltz, Columbia University, etc).[2]

Menurut Agus Suwignyo, semua kerja sama tersebut membuahkan hasil yang berpengaruh besar terhadap perubahan pendidikan guru di Indonesia. Hasil-hasilnya adalah:

   Sekitar 50 tenaga dosen didikan Amerika di FKIP hingga awal 1960an à“generasi pertama” guru-guru didikan Amerika; menggeser peran sentral guru-guru “lama” didikan Belanda/Jepang.

       Perubahan kurikulum, pendekatan SBL/PBL; matakuliah-matakuliah baru bagi calon guru (metode mengajar, sosiologi, antropologi).

       Laboratorium pengajaran.

       Bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi calon guru.

       Bacaan—bacaan berbahasa Inggris.

Dampaknya, kedatangan para dosen dari pelatihan di AS tersebut kemudian bukan hanya menggeser para dosen hasil pendidikan Belanda dengan yang mumpuni dalam menguasai pedagogik melainkan menimbulkan konflik baru dalam membangun lembaga pendidikan guru antara FKIP dengan IPG yang kemudian berakhir dengan digabungkannya kedua konsep tersebut menjadi lembaga pendidikan guru yang baru yang disebut Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) pada tahun 1964.[4]

Kelahiran 10 IKIP Negeri yang pertama di Indonesia merupakan buah dari harapan-harapan baik, namun juga menjadi tanda yang tegas akan hilangnya fakultas-fakultas pedagogik di Indonesia, dan mulainya teori-teori instruksional di dalam pendidikan yang diperkuat oleh studi-studi ilmiah bidang pendidikan yang berbasis konsep education beraliran Anglo Saxon. Para peserta didik yang memasuki IKIP pun kemudian lebih banyak mengenal metode pengajaran, metode pembelajaran dibandingkan pedagogik teoritis, maupun pedagogik praktis yang merupakan buah hasil praktik pendidikan.

Pendapat tentang perubahan aliran dan corak pendidikan di IKIP tersebut mendapatkan penegasan dari penyelidikan sejarawan Amerika Serikat Ellen Condliffe Lagemann , yang menjabat sebagai President, History of Education Society 1988.

“Saya sering berdebat dengan peserta didik, karena banyak yang tidak mampu memahami sejarah pendidikan di Amerika Serikat selama Abad ke-20 disebabkan ketidaktahuan mereka, bahwa terjadi pertarungan arus pengetahuan pendidikan antara Psikologi Pendidikan Modernnya Edward L. Thorndike yang mengalahkan filsafat pendidikannya John Dewey.  Pernyataan itu terlalu sederhana, tentu saja, tetapi lebih benar daripada tidak benar dan berguna karena beberapa alasan. Pertama, itu menyarankan bahwa, bahkan jika Thorndike dan Dewey keduanya berbicara dan menulis di idiom "progresif", perbedaan pandangan yang memisahkan mereka besar dan signifikan. Selain itu, perlu diperhatikan perbedaan dalam file cara ide setiap orang diterima. Jika Dewey telah dihormati di antara beberapa pendidik dan pemikirannya memiliki pengaruh yang lebih luas bidang ilmiah-filsafat, sosiologi, politik, dan psikologi sosial, namun pemikiran Thorndike lebih berpengaruh dalam pendidikan. Ini membantu membentuk praktik sekolah umum juga beasiswa tentang pendidikan. Akhirnya, observasi yang dimenangkan Thorndike dan Dewey kehilangan nilai karena dapat membuka pertanyaan baru tentang Warisan Deweyan, yang meskipun masih banyak diteliti (beberapa diantaranyasangat baik), tetap kaya sugestif dan layak untuk eksplorasi lebih lanjut”.

Dalam kutipan aslinya Lagemann mengungkapkan sebagai berikut:

I have often argued to students, only in part to be perverse, that one cannot understand the history of education in the United States during the twentieth century unless one realizes that Edward L. Thorndike won and John Dewey lost. The statement is too simple, of course, but nevertheless more true than untrue and useful for several reasons. First, it suggests that, even if Thorndike and Dewey both spoke and wrote in the "progressive" idiom, the differences of view that separated them were large and significant. Beyond that, it calls attention to differences in the way each man's ideas were received. If Dewey has been revered among some educators and his thought has had influence across a greater range of scholarly domains-philosophy, sociology, politics, and social psychology, among them-Thorndike's thought has been more influential within education. It helped to shape public school practice as well as scholarship about education. Finally, the observation that Thorndike won and Dewey lost has value because it can open new questions about the Deweyan legacy, which, despite the many extant studies (some of which are excellent), remains richly suggestive and worthy of further exploration.[5]

Menurut Jimmy Philip Paat, jika para mahasiswi-mahasiswa Amerika Serikat saja perlu mengetahui keadaan sejarah pendidikan AS abad ke-20, di mana behaviorisme Edward Thorndike memenangkan pertarungan melawan filsafat pendidikan Jhon Dewey yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi dalam pendidikan sehingga memberikan ruang bagi pertemuan banyak pengalaman para peserta didik di dalam proses mengajar dan pembelajaran, maka para mahasiswi – mahasiswa Indonesia perlu juga tahu bagaimana behavorisme memasuki dan menggeser pedagogik Langeveldian. Bahkan pedagogik kritis Ki Hadjar Dewantara pun tidak sejalan dengan behaviorisme.

Semua penemuan dari hasil penyelidikan para pedagog dan sejarawan pendidikan tersebut menggambarkan latar belakang kenapa format institusi pendidikan IKIP dianggap gagal menghasilkan lulusan guru untuk SMP, dan SMA yang bermutu.[6] Perdebatan para ahli, terutama mereka yang tidak berasal dari latar belakang keguruan melainkan ilmu murni selalu ditekankan pada kurangnya penguasaan konten oleh para guru lulusan LPTK. Berangkat dari perdebatan tersebut, maka keluarlah wacana pentingnya IKIP dikonversi menjadi universitas. Usulan perubahan tersebut bila dicermati ide yang melatar belakanginya, terutama dari Prof. Dr. H.A.R. Tilaar adalah untuk mengembangkan pedagogik (ilmu pendidikan) yang mati tak mau hidup ragu-ragu:[7]

Ilmu pendidikan yang dewasa ini disinyalir  sebagai ilmu yang mati memang akan menghasilkan profesi guru yang tidak profesional.

 Karena transformasi IKIP  menjadi universitas akan menyebabkan perkawinan yang saling menyuburkan antara ilmu pendidikan dengan ilmu murni yang dikembangkan dalam universitas eks IKIP.[8] Seiring dengan usulan konversi IKIP menjadi universitas, maka konversi tersebut sejalan dengan wacana para pedagog yang ingin LPTK eks IKIP menghasilkan guru yang berkapasitas ilmuwan. Guru yang ilmuwan memiliki kelebihan dan kematangan secara kreatif dalam mengajar dan membimbing para muridnya agar menjadi pribadi dewasa yang mandiri, dan mampu menjawab tantangan-tantangan kehidupan.

Persoalannya kemudian konversi IKIP menjadi universitas tidak didukung regulasi pengadaan guru yang dapat menguatkan wacana menghasilkan guru yang ilmuwan. Fakta yang terjadi, universitas eks LPTK mendapati regulasi yang berlaku di dalam Undang-undang Guru dan Dosen, yaitu UU No. 14 Tahun 2005, justru memberikan kesempatan kepada siapa saja baik lulusan program kependidikan di universitas eks LPTK maupun yang mengambil program non kependidikan, termasuk dari universitas non eks LPTK untuk menjadi guru. Kesemuanya berkesempatan menjadi guru asalkan mengikuti pelatihan prajabatan guru (Pendidikan Profesi Guru/PPG) maupun pelatihan dalam jabatan guru (sertifikasi guru) berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen. Ini berarti regulasi menentukan guru apa yang ingin dihasilkan dari pendidikan di Indonesia, yaitu ilmuwan yang guru, satu orientasi  perdebatan lama sejak LPTK dianggap gagal menghasilkan guru yang memiliki kemampuan menguasai konten pada akhir 1980-an. Konsep guru yang ilmuwan berarti seorang guru itu pertama-pertama ilmuwan yang kemudian belajar ilmu keguruan.

Setelah IKIP menjadi universitas  dalam hal konten pengetahuan (materi ajar), para pedagog melihat konten para guru lulusan universitas  eks LPTK sudah  cukup. Pendapat ini bisa kita sepakati bila kita memiliki pemahaman yang sama bahwa mendidik itu bukan hanya mengajar melainkan lebih kompleks secara pedagogis.  Artinya seorang guru benar-benar memahami pedagogik teoritis maupun pedagogik secara praktis, dan mampu memadukan keduanya untuk menghasilkan teori mendidik. Hal ini tentu berbeda dengan cara pandang yang menganggap penelitian kuantitatif di bidang pendidikan sebagai wujud dari pengembangan ilmu pendidikan. Menurut Profesor H.A.R. Tilaar pendapat tersebut terlalu menyederhanakan permasalahan.

Pertanyaannya kemudian apakah universitas-universitas eks  LPTK kemudian harus mengubah fokus  dari semula menghasilkan guru yang ilmuwan menjadi ilmuwan yang guru? Jawabannya tentu tidak perlu ada perubahan orientasi, karena tugas LPTK dalam kelembagaan universitas adalah menghasilkan guru yang ilmuwan, dan melalui tata kelola yang baik, tentu para kaprodi kependidikan bisa meningkatkan kerja sama dengan para kaprodi ilmu murni untuk sama-sama menyuburkan_ mutually enrich each other (cross-fertilization) antara ilmu kependidikan dengan ilmu murni. Bahkan dengan demikian kelak di kemudian hari jika para mahasiswa ilmu murni di perguruan tinggi eks IKIP berkeinginan menjadi guru, maka mereka sudah mengenal setidaknya apa itu ilmu kependidikan.[9]

Prof. Dr. Sutjipto menguatkan pendapat penulis. “Menurut saya kualitas guru bukan tergantung jenis lembaganya. Di manapun dan apapun lembaganya tidak menjadi masalah, jika desain pendidikannya bener (benar: Red.). Saya mengunjungi pendidikan guru di berbagai negara yang menyelenggarakan pendidikannya di universitas, juga sangat berhasil. Lebih-lebih fungsi dan kemampuan guru sekarang di zaman teknologi informasi amat berbeda dengan tuntutan di tahun 1954,” ungkap Rektor IKIP Jakarta/UNJ 1997-2005, Sutjipto.

Kebutuhan desain pendidikan guru untuk menjawab perkembangan era teknologi digital merupakan keniscayaan. Sampai di sini, kebutuhan melacak sejarah pendidikan guru menjadi  terasa penting untuk kemudian menjadi pijakan bagi setiap upaya maupun keinginan untuk mendesain kebijakan pendidikan guru sesuai dengan tantangan zaman, khususnya era digital.

Sutjipto mengajak para pakar dan pecinta pedagogik untuk mulai mengkaji bagaimana caranya mendesain kembali  pendidikan guru untuk menghadapi era digital yang berubah amat cepat. “Bisa pakai analogi traveloka yang nggak punya hoteL tapi bisa menyewakan hotel atau gojek, yang modalnya sepersekiannya Garuda (maskapai udara Garuda: Red.), tapi untung yang dihasilkannya lebih besar dari Garuda. Pendidikan guru bisa menggunakan resources yang tersebar  dan tidak harus memilikinya untuk menghasilkan guru  dengan kelincahan yang dituntut zaman,” terang Sutjipto.

Mendesain pendidikan guru untuk menjawab tantangan era digitalisasi teknologi yang berkembang sangat cepat merupakan keniscayaan. Tentu bukan hanya untuk melahirkan generasi calon lulusan guru yang menonjol dalam berpikir strategis ekonomi terkait  teknologi digital, lebih dari itu adalah kualifikasi guru yang ilmuwan.

Di dalam Redesign Pendidikan Guru Era Digital tersebut tentu menimbang tantangan nyata pandemi covid-19. Bagaimana sebenarnya menjalankan pembelajaran jarak jauh (distance learning), apakah konsep pembelajaran jarak jauh yang ada sudah mampu menjawab kebutuhan distance learning secara pedagogis? Apakah pelaksanaan PJJ pada hari ini melalui perangkat webinar yang ada sama sekali tidak berdasar teori PJJ melainkan bentuk panic learning? Dan bagaimana desain pendidikan guru era digital menjawab kebutuhan penggabungan pembelajaran tatap muka (PTM) dengan PJJ pada tahap lanjutan pandemi covid maupun situasi normal pasca covid-19?

Forum Diskusi Pedagogik (FDP) Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta menghadirkan Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Komarudin Sahid, M.Si., sebagai Keynote Speaker,  dan para pakar serta praktisi pendidikan berpengalaman pada perguruan tinggi masing-masing untuk menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan Redesign Pendidikan Guru Era Digital, sebuah desain kebijakan pendidikan guru yang merujuk perkembangan masyarakat, perkembangan teknologi, dan perekonomian pada masa kini.

Diskusi Reboan Edisi 24 Februari 2021 Forum Diskusi Pedagogik akan dibuka secara langsung pada pukul 13.00 WIB oleh Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro, Ph.D. Pemateri diskusi sebanyak tiga orang yang akan mendalami topik tersebut: Guru Besar, dan Rektor Universitas Terbuka 2  Periode (2009-2017), Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed., Ph.D.; Dosen Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, Dr. Uwes Anis Chaeruman, M.Pd.; Direktur Binus Online Learning, Agus Putranto, S.Kom., M.Sc. Bukan hanya pembicara saja yang tergolong pakar di bidang teknologi pendidikan,  Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ juga menghadirkan pakar teknologi pendidikan untuk menjadi moderator, yaitu Dr. Khaerudin,  M.Pd.  Dosen Prodi Teknologi Pendidikan Pascasarjana UNJ tersebut akan mengatur jalannya diskusi, serta menyambungkan komunikasi antara para pembicara dan para siswi-siswa. Selamat mengikuti diskusi Reboan FDP IKA UNJ.

Hasil-hasil Diskusi Reboan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ tersebut di atas telah merujuk pendapat para pakar yang menjadi narasumber Reboan Bulanan tersebut:

1.       Prof. Dr. Conny R. Semiawan (Rektor IKIP Jakarta 1984-1982)

2.       Prof. Dr. A. Suhaenah Soeparno (Rektor IKIP Jakarta 1992-1997)

3.       Prof. Dr. Sutjipto (Rektor IKIP Jakarta/UNJ 1997-2005)

4.       Prof. Dr. Bedjo Sujanto (Rektor UNJ 2005 – 2014)

5.       Prof. Dr. Komarudin Sahid, M.Si. (Rektor UNJ 2019-2023)

6.       Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.Ed. (Guru Besar Sejarah UPI) 

        Prof. Dr. Hariono, M.Pd. (Guru Besar Universitas Negeri Malang/Wakil Kepala BPIP)

        Prof. Drs. H. Ganefri, M.Pd., Ph.D. (Rektor Universitas Negeri Padang)

8.       Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed. (Guru Besar UPI)

9.       Prof. Dr. Yoyon Suryono, M.S. (Guru Besar UNY)

10.   Prof. Dr. Iwan Pranoto, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FMIPA ITB).

11.   Dr. Totok Bintoro, M.Pd. (Warek 4 & Mantan Kepala LP3M UNJ)

12.   Dr. Umasih, M.Hum. (Dosen Pendidikan Sejarah  FIS UNJ)

13.   Dr. Abdul Syukur, M.Hum (Ketua Umum P3SI, Dosen Pend. Sejarah UNJ)

14. Dr. Samsuri, S.Pd., M.Ag. (Dosen PPs UNY & Sekretaris Pusat Pend. Pancasila dan Karakter  LPPM UNY).

15.   Jimmy Philip Paat, D.E.A. (Dosen Bahasa Perancis IKIP/UNJ)

16.   Darmaningyas (Majelis Luhur Tamansiswa)

D     Dr. Agus Suwignyo, M.A. (Pakar Sejarah Pendidikan UGM)

17.   Syaiful Huda (Ketua Komisi X DPR RI). 






 



[1] Jimmy Ph. Paat, Menemukan kembali pedagogik di LPTK, UNJ ?, Forum Diskusi Pedagogik (FDP) IKA UNJ, Tema “Revitalisasi Pedagogik Untuk Menjadikan Universitas Negeri Jakarta LPTK Terdepan”, Rabu, jam 10 – 13, 16 Oktober 2019.

[2] Agus Suwignyo, The American Influence in Indonesian Teacher Training, 1956-1964, History of Education, DOI: 10.1080/0046760X.2017.1328614.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ellen Condliffe Lagemann, “The Plural Worlds of Educational Research”. Artikel ini bersumber di “History of Education Quarterly, Vol. 29, No. 2 (Summber, 1989), pp. 185-214.

[6] H.A.R. Tilaar, Membina Profesi Guru Indonesia Abad 21, (Lembaga Pengembangan Manajemen Pendidikan : 1998), h. 12.

[7] Ibid., h. 26.

[8] Ibid., h. 42. Pada halaman ini, Tilaar menyatakan, “Transformasi IKIP ke dalam universitas harus bertujuan untuk meningkatkan  ilmu pendidikan itu sendiri dan penghargaan masyarakat terhadap profesi pendidik. Di dalam kaitan perlu inilah dirumuskan peranan Fakultas Ilmu Pendidikan di dalam wadah universitas yang akan dibentuk itu,” kata Tilaar.

[9] Ibid., h. 41-50.

News letter