Belajar Daring Membelenggu Murid karena E-Education Tidak Diorganisir

Sekolah harus memiliki kemampuan dan tanggungjawab dalam mengorganisir e-education.

Abdullah Taruna

“Secara umum bisa saya, atau kita katakan sekolah sampai perguruan tinggi belum sanggup menyelenggarakan pendidikan dengan digital, antara lain karena belum paham apa itu pendidikan dengan digital, tidak paham mengorganisir e-education,” kata Pegiat Pendidikan Lody F. Paat.

Ini, tambah Lody, bukan hanya dialami para siswi-siswa SMP-SMA, bahkan mahasiswa di perguruan tinggi pun mengalami. “Saya dapat informasi dari seorang mahasiswa bahwa hampir semua dosen di kuliah semester ini (hanya satu dosen tidak memberi tugas) memberi tugas. Bahkan ada dosen yang memberi tugas melalui email mahasiswi-mahasiswanya jam 8 malam dan meyerahkan tugas jam 01 pagi. Ini "tak masuk akal",” kata Lody.

Pernyataan Lody Paat tersebut untuk menanggapi banyaknya keluhan para siswi dan siswa sejak pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar daring dimulai pada pertengahan Maret 2020.

Mereka yang merasa terbebani belajar daring bukan hanya peserta didik dari daerah-daerah melainkan juga dari DKI Jakarta. Di antara mereka pun mengadukan beban berat belajar PJJ ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Mereka mengeluhkan tugas-tugas yang harus dikerjakan siswi-siswa yang dikirim melalui medsos oleh guru. “Itu bukan hanya satu mapel (mata pelajaran), dari dari banyak mapel,” cerita seorang murid SMA yang merindukan kembali suasana belajar mengajar off line.

Lody tidak memungkiri bila banyaknya guru yang gagap dalam menggunakan teknologi informasi, namun hal itu bukan faktor mutlak yang membuat mereka gagal mewujudkan pembelajaran daring menjadi menyenangkan. Sebaliknya justru para guru membuatnya menjadi membosankan.  

“Salah satu problem terletak pada sekolah yang tidak mampu menyediakan perlengkapan, seperti program yang digunakan oleh guru dan murid, dan ketidaksanggupan sekolah mengorganisir mengajar belajar dengan digital. Sekolah membiarkan guru dan murid mencari program masing-masing, juga sekolah tidak mengatur jadwal kegiatan belajar mengajar,” ungkap Lody.

Jadi menurut Lody, gaptek bukan penyebab utama guru membuat PJJ menjadi begitu membebani dan membosankan peserta didik. “Saya pikir kegagapan mengajar belajar dengan digital tidak hanya dialami oleh guru di SD s/d SMA/SMK tetapi juga dialami oleh para dosen di perguruan tinggi,” kata Lody.

Lodi menegaskan, bahwa problem utama kegiatan ini seharusnya kegiatan pendidikan. “Ini seharusnya e-education atau e-teaching-learning bukan e-learning. Jadi, persoalan bukan pada murid tapi pada  sekolah,” kata Lody yang menyebut sekolah tidak mengorganisir e-education atau e-teaching-learning sehingga berdampak membebani peserta didik.

Munculnya keluhan sebagai dampak dari pelaksanaan PJJ yang membebani dan membosankan di tengah wabah virus covid-19, membuat Lody mengingatkan, bahwa baik dalam bencana alam, maupun non alam seperti virus covid-19, kebijakan pendidikan semestinya diputuskan dengan pertimbangan yang bijaksana.

“Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit,” kata Lody mengutip Pasal 1 ayat 3 Undang-undang No. 24 Tahun 2007.

Pertimbangan bijaksana itu, tambah Lody, bisa diperoleh dengan mengembalikan hakikat digital sebagai alat, sedangkan merdeka dalam merdeka belajar adalah tujuan, bukan metode. Sebagai alat tentu, digital bisa digunakan untuk menjalankan e-teaching-learning. “Penggunaan digital dalam pendidikan atau pendidikan online bisa digunakan sekolah-sekolah kovensional. Bukan saja pada saat adanya virus covid-19, tapi juga pada saat  tidak ada bencana,” papar Lody.

Dengan menempatkan makna digital sebagai instrumen untuk mencapai tujuan e-teaching – learning, yaitu merdeka belajar, maka tindakan meng-copy pendidikan non online adalah bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai. “Pendidikan online jadwalnya fleksibel dan bukan meng-copy atau memindahkan pendidikan non online ke dalam pendidikan online seperti sekarang,” kata Lody mewanti-wanti, karena hal itu hanya membebani bahkan membelenggu peserta didik.

News letter