Ada Apa Dengan Guru ?

Mari kita sempatkan untuk melacak persoalannya.

Abdullah Taruna,

Sejumlah kalimat bernada kekecewaan kepada para guru yang pernah mengajar penulis kalimat itu  beredar di sosial media.  “Dan ini buat wali kelas gue sendiri yang bilang bahwa jurusan bahasa pas SMA adalah buangan, mustahil berkembang,” tulis seorang mahasiswi dalam cuitannya di sosmed.  

Bahkan seorang seniman yang mengaku sukses juga mengungkapkan kata-kata berkesan kecewa kepada gurunya.  “Buat guru SMP aku, yang dulu bilang aku goblok dan ngejambak cuma gara-gara jawaban aku salah. Yang bilang dulu jadi seniman nggak punya masa depan. Saya kuliah dan keliling pameran ke mana-mana. Bawa ibu saya pameran di Ritz Carlton dan ngerasain rasanya menjadi tamu VIP:),” cuit seorang mahasiswi yang memajang foto mengenakan busana wisuda dengan wajah tersenyum dan memegang bunga.

Masih banyak lagi ungkapan serupa yang menunjukkan betapa para mahasiswi maupun mahasiswa itu memiliki memori buruk tentang guru mereka. Pertanyaannya adakah kaitan perilaku para guru yang mengendap menjadi memori buruk itu dengan kualitas guru yang memprihatinkan?

Menanggapi tentang hal itu, Koordinator Tim Ahli Pedagogik IKA UNJ, Jimmy Philip Paat mengatakan, “kita mau tidak mau bicara Hulu (dari atas) artinya dari LPTK. Guru-guru itu (yang membuat kesalahan total padahal elementer) tidak memiliki pedagogik sebagai ilmu, “ ujar Jimmy Philip Paat.

Menurut Jimmy, Langeveld tokoh pedagogik Eropa Continental yang juga dianggap sebagai suhu mazab Langeveldianisme, membuat  aksioma pedagogik yang cukup menjelaskan ada apa dengan guru-guru yang menanamkan memori buruk kepada para muridnya.  “Pendidikan atau mendidik harus didasarkan pada fakta yang mendasar: manusia memulai hidupnya sebagai anak kecil dan tidak dapat membentuk dirinya menjadi manusia tanpa dibesarkan, dididik oleh manusia lain,” kata Jimmy mengutip aksioma pedagogik Langeveld.

Reboan Pendidikan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ. Foto: Daiva Adinata.

Dosen Prodi Bahasa Perancis UNJ tersebut melanjutkan, bahwa dalam ciri keempatnya,  pedagogik merupakan disiplin ilmu yang otonom. Keotonomannya terlihat dari kespesifikannya, yaitu pedagogik  bukan ilmu pengetahuan yang menggeneralisasi, atau disiplin ilmu yang “tidak bebas situasi”. “Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang di antaranya berkaitan dengan membantu anak dalam keadaan kongkrit untuk mencapai potensi terbaiknya, “ kata Jimmy Philip Paat.

Dari penjelasan Jimmy Philip Paat, tampak perilaku para guru menunjukkan ketidakmengertian guru akan pedagogik. Akibatnya, mereka bukannya memfasilitasi para murid untuk mengembangkan potensinya, sebaliknya justru menumpulkan. Kendatipun kenyataan menunjukkan, para murid itu justru berusaha membuktikan bahwa mereka punya potensi, namun kita belum juga mengetahui data pasti berapa dari mereka yang drop out karena pendekatan yang salah dalam mendidik seperti itu.

Sejak kapan mutu guru merosot?

Prof. Dr. H.A.R. Tilaar menyebutkan dalam makalah Dies Natalis ke- 34 IKIP Yogyakarta, 18 Mei 1998, bahwa Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), yaitu Satu Fakultas Pedagogik di Universitas Gajah Mada, dan 9 Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas negeri lainnya, termasuk Universitas Indonesia pernah menghasilkan lulusan guru yang bermutu. Namun usia PTPG hanya satu dasawarsa: 1954 – 1964. Namun begitu Indonesia memulai dengan pembangunan nasional (Repelita) kuantitas lulusan guru melebihi kebutuhan, pada saat yang sama LPTK (kampus-kampus IKIP Negeri) yang berdiri sejak 1964, tidak meningkat secara kelembagaan maupun mutu hingga 12 LPTK negeri dikonversi menjadi universitas.

Perancang Kurikulum 1975, Prof. Dr. Soedijarto, M. A.

Hal itu pula yang menjadi persoalan saat Prof. Dr. Soedijarto merancang Kurikulum Pendidikan Tahun 1975. Penerapan kurikulum tersebut, betapapun untuk merumuskannya, Prof. Soedijarto sampai menghadirkan pakar kurikulum Amerika Serikat, namun gagal mencapai tujuan yang diharapkan. Penyebabnya karena sebagian besar guru tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan kurikulum tersebut.

Martabat guru benar-benar di bawah titik nadir. Profesi guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah-sekolah jatuh pada kekerdilan (Pidato Prof. Dr. H.A.R. Tilaar saat Dies Natalis IKIP Yogyakarta ke- 34, 18 Mei 1998)

Sampai di sini, Jimmy Philip Paat sepakat bila sebenarnya permasalahan pendidikan nasional ada pada kualitas guru yang rendah.

“Saya ingat saat ngobrol dengan pembuat kurikulum 75, Pak Soedijarto kalau bicara kurikulum itu. Beliau bilang kira-kira kalau saya pakai bahasa saya “saya “lupa” (kata lupa itu saya yang pakai) bahwa guru-guru yang saya minta pakai kurikulum 75 itu kebanyakan guru tamatan SGA/SPG di SD. Dan mereka sebenarnya kurang dalam pengetahuan.”

Jadi menurut Jimmy,  pembuatnya sendiri mengakui kesalahannya atas kegagalan kurikulum 75. “Padahal kurikulum itu sangat baru atau merupakan loncatan jauh di saat itu. Dan bagi saya setelah kurikulum 1975 secara mendasar,  kurikulum selanjutnya tidak berbeda perspektif teoritis kurikulum. Nampaknya perubahan kurikulum selalu mengalami kegagalan yang sama, yaitu di guru. Tetapi kegagalan yang sama selalu dibuat,”ungkap Jimmy Philip Paat.

Berangkat dari persoalan tersebut, upaya merevitalisasi LPTK tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan penyemaian pedagogik (ilmu pendidikan) baik yang beraliran Eropa Kontinental, maupun Studi Ilmiah (Psikologi Pendidikan, Sejarah Pendidikan, Sosiologi Pendidikan, dll).

News letter